Grid.ID - Kasubdit Ranmor Ditreskrimum Polda Metro Jaya AKBP Antonius Agus Rahmanto mengatakan, para pengguna aplikasi pembuat order fiktif ojek maupun taksi online atau kerap disebut "tuyul" memiliki perkumpulan.
"Saya tidak dapat mengatakan ini jaringan yang terorganisir. Karena mereka tidak punya susunan organisasi. Tapi mereka berkomunitas," ujar Agus saat ditemui di kantornya, Kamis (1/2/2018).
Hal ini dibenarkan seorang tahanan kasus order fiktif ojek online berinisial FA.
Ia bahkan mengaku menyewa sebuah rumah kontrakan di Jalan Aries Utama, Meruya Utara, Kembangan, Jakarta Barat.
(Baca juga: Tak Khawatir dan Ngeri, Seorang Ibu Nekat Tempatkan Bayinya di Atas Atap Becak Motor yang Berjalan)
"Kami sewa kontrakan 6 bulan, biayanya Rp 20 juta. Kami bayarnya iuran saja, seikhlasnya. Kami ada 10 orang di sana," ujar FA saat ditemui.
Menurut FA, tak ada yang mengkoordinir hingga terbentuk perkumpulan ini.
Menurutnya, perkumpulan para mitra ojek online ini terbentuk begitu saja atas dasar kesamaan nasib.
"Di sana kami iuran seiklasnya untuk beli HP (ponsel) juga. Ada 170 ponsel yang kami pakai bergantian biar pelanggannya tidak terkesan selalu sama. Kami kumpul-kumpul aja di sana (kontrakan)," tuturnya.
(Baca juga: Bikin Geer! Alasan Pebalap MotoGP Jorge Lorenzo, Sukai Cewek Indonesia)
Tak hanya untuk menyewa rumah dan membeli ponsel, sejumlah mitra ojek online pun mengumpulkan iuran untuk biaya oprek ponsel agar dapat digunakan untuk membuat order fiktif online.
"Sekali oprek kan Rp 100.000. Satu HP enggak pasti sebulan sekali dioprek, kami iuran sukarela," ujarnya.
Penulis | : | Ahmad Rifai |
Editor | : | Ahmad Rifai |