Grid.ID - Wiranto punya segudang cerita sebagai seorang tokoh militer.
Di balik sosoknya yang tegas, tak banyak yang tahu tentang kehidupan pribadi Wiranto sebagai seorang ayah.
Wiranto ternyata punya pengalaman pahit karena harus terpisah dari anak dan istri ketika bertugas di lokasi konflik.
Hal itu ia kisahkan saat menerima sejumlah anggota DPRD Papua dan Papua Barat di kantornya, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Selasa (24/9/2019) sore.
Bahkan, Wiranto mengungkapkan dirinya tak berada di samping putrinya, Natarina Sofianti, yang meninggal di Malang ketika ia bertugas di Timor Timur, yang kini menjadi negara Timor Leste.
Kejadian itu terjadi pada Oktober tahun 1978 silam.
“Saat saya tugas di Timor Timur, saya tidak tahu anak saya meninggal dunia."
"Waktu itu almarhum terlambat dibawa ke rumah sakit, mobil dinas saya dibawa ke bengkel, di markas. Itu pengorbanan, kita tidak senang,” cerita Wiranto.
Sebelumnya, Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Wiranto menerima sejumlah anggota DPRD Papua dan Papua Barat di kantornya, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Selasa (24/9/2019) sore.
Baca Juga: Rela Jadi Istri Kedua Rhoma Irama, Artis Lawas Ini Ternyata Dulunya Sering Beradegan Mesra di Film
Ditemani Mendagri Tjahjo Kumolo, anggota DPRD Papua dan Papua Barat menyampaikan delapan tuntutan rakyat Papua dan Papua Barat kepada Wiranto.
Ketua DPRD Maybrat Ferdinando Solossa mengatakan, pihaknya perlu menyampaikan langsung delapan tuntutan itu kepada pemerintah pusat.
Tujuannya, untuk menghadirkan kesejahteraan bagi masyarakat Papua dan Papua Barat.
“Kami sebagai representasi masyarakat Papua dan Papua Barat ingin agar situasi damai, aman serta masyarakat terlayani secara baik,” ungkap Ferdinando Solossa.
Berikut ini delapan tuntutan tersebut:
Baca Juga: Dampak Aksi Mahasiswa Tolak RKUHP, Begini Nasib Fasilitas Bus Transjakarta
1. Meminta agar pemerintah pusat membuka dialog dengan kelompok yang memiliki pandangan yang berseberangan atau konfrontatif.
Seperti, United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) dan Komite Nasional Papua Barat (KNPB).
Meminta pertemuan tersebut dimediasi pihak ketiga yang netral dan independen serta objektif, untuk memperkuat rasa saling percaya antar-pihak yang berdialog.
Mereka merasa dialog perlu dilakukan untuk menyelesaikan akar masalah politik, hak asasi manusia, dan demokrasi di tanah Papua.
2. Meminta pemerintah pusat merevisi UU No 21 Tahun 2001 tentang Daerah Otonomi Khusus Papua.
3. Menarik pasukan non-organik TNI dan Polri di Papua serta Papua Barat.
4. Mendorong pembentukan daerah otonomi khusus baru di Papua dan Papua Barat.
5. Meminta pemerintah pusat melalui Mendagri memfasilitasi pertemuan dengan kepala daerah yang tempatnya dijadikan pusat pendidikan bagi mahasiswa atau pelajar dari Papua dan Papua Barat.
“Agar mahasiswa dan pelajar asal Papua yang ada di daerah tersebut mendapat jaminan keselamatan,” tegas Ferdinando.
Baca Juga: Siap Ajukan Banding Soal Hak Asuh Anak, Atalarik Syah Sebut Putusan Sidang Nggak Rasional!
6. Meminta dibentuk Komisi Kebenaran, Keadilan, dan Rekonsiliasi (KKKR) untuk menyelesaikan persoalan hak asasi manusia di tanah Papua.
7. Meminta Mendagri memfasilitasi pertemuan antara gubernur, bupati/walikota, MRP/MRPB, DPR daerah pemilihan Papua dan Papua barat.
Juga, pimpinan DPRD provinsi, pimpinan DPRD kabupaten/kota di Papua dan Papua Barat dengan Presiden, untuk menyampaikan masalah-masalah di Papua.
8. Meminta transparansi penegakan hukum yang terbuka, jujur, dan adil atas pelaku rasisme di Surabaya, Malang, dan kota lainnya.
Wiranto sendiri menyatakan rasa terima kasihnya atas penyampaian aspirasi oleh anggota dewan Papua dan Papua Barat.
“Terima kasih sudah mewakili aspirasi masyarakat. Semoga aspirasi ini bisa kita selesaikan dan kita bicarakan demi kebaikan bangsa ini ke depan,” ucap Wiranto.
Baca Juga: Semakin Halu, Barbie Kumalasari Berharap Boy William Jadi Ayah Untuk Anak-anaknya
Menjawab permintaan itu, Wiranto menolak tegas bertemu secara formal dengan United Liberation Movement for West Papua (ULMWP).
Alasan Wiranto menolak, karena jika bertemu secara formal, berarti pemerintah mengakui keberadaan organisasi kemerdekaan Papua Barat tersebut.
ULMWP yang selama ini dianggap sebagai pemberontak, dimotori oleh Benny Wenda yang saat ini bermukim di Inggris.
“Perjanjian bertemu formal dengan pemberontak tidak bisa,” ungkap Wiranto di Kantor Kemenko Polhukam, Jakarta Pusat, Selasa (24/9/2019).
"Kalau dilakukan berarti kita mengakui pemberontak sejajar dengan pemerintah,” imbuhnya.
Wiranto mengatakan, dialog antara pemerintah dengan ULMWP atau organisasi kemerdekaan Papua Barat seperti KNPB (Komite Nasional Papua Barat), bisa dilakukan namun tidak secara formal.
Namun, Wiranto tak menyebut secara spesifik pertemuan seperti apa yang dimaksud.
Mantan Panglima TNI itu mengatakan, pemerintah pusat selama ini sudah berusaha untuk dialog dan mendengarkan aspirasi dari kelompok-kelompok tersebut.
“Usaha bertemu dengan siapa pun sudah pernah dilakukan, dengan porsi yang wajar tentunya."
"Pemerintah atau Presiden mendengarkan suara rakyatnya kan wajar, bisa, tapi dengan cara lain, tidak formal,” ucapnya.
Wiranto juga menolak permintaan penarikan pasukan non-organik TNI-Polri dari wilayah Papua dan Papua Barat.
Karena, pasukan non-organik itu masih dibutuhkan untuk menjaga stabilitas keamanan di Papua dan Papua Barat.
“Kalau di sana sudah tenang dan damai nanti pasti ditarik tanpa diminta."
"Kalau sekarang ditarik lalu terjadi pembakaran nanti yang bertanggung jawab siapa?” cetus Wiranto.
Wiranto menjelaskan, pasukan non-organik itu masih dibutuhkan untuk mengamankan situasi di Papua yang masih beberapa kali menghangat.
“Pasukan itu gunanya untuk melindungi masyarakat, melindungi kantor instansi dan fasilitas umum, dan melindungi kantor-kantor,” tegas Wiranto. (Rizal Bomantama)
Artikel ini telah tayang di Wartakotalive dengan judul KISAH Wiranto Tak Tahu Buah Hatinya Meninggal Saat Bertugas di Timor Timur
(*)
Penulis | : | None |
Editor | : | Winda Lola Pramuditta |