Di tengah pengepungan dan serangan udara di kawasan Ghouta Timur, sejumlah dokter dan paramedis memilih bertahan untuk menyelamatkan korban luka-luka. Lantaran takut diincar, mereka meminta BBC menyamarkan nama dan lokasi mereka.
Grid.ID - Seluruh anggota keluarga Dokter Hamid kini tinggal di sebuah ruangan yang sesak dan temaram.
Ruangan itu adalah garasi yang menempel pada bekas rumah mereka.
Bangunan yang terletak di pinggiran Ghouta Timur, dekat Damaskus, itu kini hanya menyisakan puing-puing setelah dihantam serangan pemerintah Suriah bulan lalu.
Bagaimanapun, di tengah kondisi demikian, Dokter Hamid masih pergi tiga kali sehari ke rumah sakit terdekat untuk menjalankan tugasnya.
Setiap kali meninggalkan rumah, pria berusia 50 tahun itu mencium istri dan kelima anaknya sembari mengusir bayangan yang hinggap di pikirannya bahwa ciuman itu mungkin adalah yang terakhir kalinya.
Dalam perjalanan ke rumah sakit, Dokter Hamid melalui jalan-jalan yang dipenuhi bangunan rubuh dan tak lagi dihuni.
Dia harus waspada akan potensi bahaya yang mungkin menimpanya.
Jika pengeboman berlangsung dahsyat dan banyak yang luka, dia mungkin berada di rumah sakit lebih dari 24 jam tanpa istirahat.
Ketika dia menangani anak yang cedera, dia memikirkan nasib anaknya sendiri.
Saat ada jeda sejenak, sang dokter menunaikan salat.
Pada Kamis (15/3), Suriah memasuki tahun kedelapan perang sipil.
Lebih dari 400.000 orang diyakini telah tewas atau hilang.
Tiga anak Dokter Hamid, dan banyak anak lainnya yang dibawa ke rumah sakit, tidak pernah menemukan kedamaian.
Anak yang tiba di rumah sakit acap kali mengalami luka tembak, organ tubuh hilang, luka bakar parah, atau kadang kala tidak terlihat cedera fisik namun terbujur kaku dengan bau gas yang menempel pada tubuh mereka.
"Kebanyakan anak yang tewas terkena serpihan bom di kepala atau cedera di perut. Dalam beberapa kasus saya bahkan menyaksikan luka yang menembus jantung," ujar Dokter Hamid.
"Anak-anak ini perlu dokter spesialis bedah dan tujuh hingga 14 hari dalam perawatan intensif. Banyak yang bisa diselamatkan. Di London mereka bisa diselamatkan. Di Ghouta, kami tidak bisa berbuat apa-apa. Kami coba menghentikan pendarahan dan membuat mereka nyaman, setelah itu kami biarkan mereka meninggal dunia." tambahnya.
Dalam wawancara melalui telepon, empat dokter dan beberapa staf medis menggambarkan bekerja di kawasan itu sebagai perjuangan keras tanpa henti untuk menyelamatkan orang dari kematian, tanpa ada ruang tersisa untuk menolong korban yang kehilangan organ tubuh, kehilangan pandangan, atau mengalami infeksi fatal.
Penanganan di rumah sakit diukur oleh dua kategori jelas, hidup atau mati.
Pekan ini, seorang bocah lima tahun tiba di rumah sakit dengan beragam luka serta patah di kaki dan lengannya.
Penjaga Makam Eko DJ Mengaku Sering Dikunjungi dan Diajak Makan Bakso Oleh Almarhum
Dr Hamid menjahit luka-luka bocah itu, kemudian mengamputasi satu tangan dan satu kakinya di bagian paha atas.
"Ini masa depan dia," kata Dokter Hamid. Bocah itu hidup, dan itu adalah keberhasilan bagi kami.
Pada hari yang sama, anak perempuan berusia 18 bulan tiba di rumah sakit dengan luka menganga di bagian paha sehingga pembuluh arterinya terpotong.
Dengan susah payah Dokter Hamid mencoba menyambungkan pembuluh di kakinya dan memulihkan aliran darah, namun dia tidak mampu menjahit pembuluh tersebut dengan baik.
"Kita tidak tahu di masa depan apakah dia bisa berjalan atau kakinya hanya menjadi foto. Namun, dia hidup," ujarnya.
Kondisi tersebut tidak terjadi terus-menerus.
Pekan itu, lima bocah yang ditangani Dokter Hamid semuanya meninggal dunia.
"Ketika kami menangani anak-anak, kami berharap Allah menjaga mereka," ucapnya disertai helaan napas yang panjang dan berat. "Maafkan saya, ini tidak bisa diungkapkan kata-kata."
Selagi konflik Suriah melewati tahun ketujuh, kekejian di Ghouta Timur mencerminkan kondisi perang sipil di Suriah yang melebar.
Pemerintahan Presiden Bashar al-Assaf mengatakan tengah membersihkan bangsa dari teroris, namun serangan tanpa kenal ampun telah membunuh puluhan ribu warga sipil.
"Mereka mengatakan membunuh teroris, tapi kami bukan teroris. Orang yang saya lihat meninggal adalah perempuan dan anak-anak," cetus Dr Hamid.
Dia sedang menghitung persediaan antibiotik, obat bius, dan insulin yang kian menipis.
Alat cuci darah pun nihil sehingga pasien gagal ginjal menghitung hari hingga meninggal dunia dengan siksaan.
Kediaman tempat Dr Hamid lahir dan dibesarkan telah ditelantarkan walau penuh kenangan.
Sebelum konflik meletus, rumah itu didatangi sanak saudara dari Damaskus untuk piknik di akhir pekan.
"Mereka datang ke sini dari berbagai daerah untuk menghirup udara segar dan menikmati pepohonan serta sungai. Bagi saya, sudah seperti surga di bumi."
Kini, dia berdoa di tempat penampungan yang penuh sesak, bahwa anak-anaknya suatu hari bisa melihat tempat yang masih segar dan hijau dalam ingatannya.
"Mungkin sudah terlambat untuk saya. Tapi, Insya Allah, anak-anak kami kelak mampu menatap hari itu." (*)
Artikel ini disarikan dari beberapa bagian laporan khusus BBC
Penulis | : | Aditya Prasanda |
Editor | : | Aditya Prasanda |