Grid.ID - Sanksi pemecatan yang dijatuhkan IDI (Ikatan Dokter Indonesia) pada Kepala RS Pusat Angkatan Darat (RSPAD) Gatot Soebroto, Brigjen TNI dr. Terawan Agus Putranto menimbulkan polemik.
Masyarakat terbelah sikap, banyak yang mendukung dokter Terawan namun tidak sedikit pula yang memuji langkah tegas IDI.
Seperti diketahui, dokter Terawan mendapatkan sanksi keras berupa pencabutan izin praktik selama 12 bulan akibat terapi pencucian otak yang ia terapkan.
Keputusan IDI diambil setelah sidang Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK) PB IDI menilai bahwa Dokter Terawan telah melakukan pelanggaran etika kedokteran.
Ketua MKEK IDI, Prio Sidipratomo, dalam surat PB IDI yang ditujukan kepada Perhimpunan Dokter Spesialis Radiologi Seluruh Indonesia (PDSRI) menyatakan bahwa dokter Terawan telah melakukan pelanggaran etik serius.
"Bobot pelanggaran Dokter Terawan adalah berat, serious ethical missconduct. Pelanggaran etik serius," sebutnya.
Beda Banget, Penampilan Ayu Ting Ting Kali Ini Bikin Pangling deh, yuk Intip!
Apa itu Terapi Cuci Otak?
Terapi cuci otak bermula dari sebuah metode diagnosa penyakit yang disebut Digital Substraction Angiography (DSA).
Digital Substraction Angiography (DSA) merupakan metode diagnosa penyakit yang memaparkan gambaran lumen (permukaan bagian dalam) pembuluh darah, termasuk arteri, vena dan serambi jantung.
Gambar ini diperoleh menggunakan mesin Sinar-X berbekal bantuan komputer yang rumit.
Metode Digital Substraction Angiography (DSA) yang awalnya bertujuan untuk mencegah paparan radiasi oleh dr. Terawan dimodifikasi menjadi metode diagnosa pembuluh darah.
Tidak sedikit orang yang mengikuti terapi cuci otak yang diperkenalkan oleh dokter Spesialis Radiologi dari RSPAD Gatot Subroto itu.
Namun Seberapa Amankah Terapi Cuci Otak?
Sejak beberapa tahun silam, terapi dengan modifikasi Digital Subtraction Angiography (DSA) ini telah ditentang oleh sejumlah dokter ahli saraf.
Dokter Spesialis Saraf Fritz Sumantri Usman menjelaskan, DSA selama ini hanya digunakan untuk diagnosa kelainan pembuluh darah di otak, bukan untuk terapi, apalagi mencegah stroke.
DSA pun tak bisa dilakukan kepada sembarangan orang.
Harus ada indikasi medis terlebih dahulu sebelum dilakukan DSA.
"DSA bisa dilakukan apabila sudah terkena serangan stroke berulang. Atau serangan stroke dengan faktor risiko tertentu, seperti kencing manis, jantung, hipertensi, hingga stroke di usia muda," jelas Fritz di sela-sela seminar Neurointervensi di Jakarta, seperti dikutip Grid.ID dari Kompas.com 2015 silam.
Ingin Keluar dari Grup WhatsApp yang Berisik Namun Sungkan? Ikuti Trik ini
Untuk apa dilakukan DSA? Tentunya hanya untuk mengetahui apakah ada kelainan pembuluh darah di otak.
Ditegaskan Fritz, bukan untuk pengobatan stroke, misalnya menghilangkan sumbatan pembuluh darah di otak.
"DSA itu alat diagnosis gold standar untuk membidik kelainan pembuluh darah di otak," lanjut Fritz.
Sebelum DSA, biasanya telah dilakukan pengecekan dengan MRI atau CT Scan.
DSA tidak bisa dilakukan kepada seseorang yang tidak sakit.
Para dokter saraf tidak menyarankan pasien mengikuti terapi cuci otak yang metode dasarnya menggunakan DSA tersebut untuk mencegah terkena stroke atau menyembuhkan.
Apalagi, terapi cuci otak yang dikenalkan Terawan sekitar 3 tahun lalu itu belum dibuktikan secara ilmiah.
Ketua Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf (Perdosi) Hasan Machfoed mengatakan, tanpa penjelasan ilmiah dan uji klinik, modifikasi DSA untuk mengobati stroke tentu belum aman dilakukan pada manusia.
Ia khawatir, terapi cuci otak justru hanya akan menimbulkan komplikasi penyakit.
Menurut Hasan, terapi cuci otak jelas telah menyalahi prosedur dan kode etik kedokteran. (*)
Penulis | : | Aditya Prasanda |
Editor | : | Aditya Prasanda |