GridPop.id - Kasus yang dialami Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini atau akrab disapa Risma sempat bikin banyak orang terkejut.
Risma mengalami penghinaan dua kali yang dilakukan oleh pengguna akun Facebook bernama Zikria Dzatil pada Selasa (21/1/2020).
Kepala Bagian Hukum Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya melaporkan akun media sosial Zikria Dzatil yang diduga melakukan penghinaan terhadap Risma.
Diketahui, Zikria diduga menghina Risma dengan menyebut Risma di salah satu unggahannya. Unggahan itu juga dilengkapi dengan foto Risma.
"Anjirrrrr.....Asli ngakak abis...nemu nih foto sang legendaris kodok betina," tulis Zikria Dzatil dalam unggahannya.
Sebelumnya, sebuah kasus terkait penghinaan terhadap pejabat negara yang dilakukan warganet berujung pada sanksi pidana.
Salah satunya yakni MFB, remaja yang menjadi terdakwa penghina Presiden Joko Widodo dan Kapolri Jenderal (Pol) Tito Karnavian divonis 1,5 tahun penjara pada Januari 2018 lalu.
Penjelasan sosiolog Menilik fenomena tersebut, dosen Sosiologi dari Universitas Sebelas Maret (UNS) Siti Zunariyah menyampaikan, perilaku menghina pejabat dapat dilihat menggunakan beberapa perspektif.
Yakni perspektif fungsionalis dan perspektif fungsional.
Perspektif fungsionalis yakni tindakan penghinaan tersebut sebagai bagian dari fungsi kontrol tindakan pejabat, meskipun cara menghina adalah cara tak beradab zaman sekarang.
"Kedua yakni menghina dapat menjadi fungsional bagi sistem masyarakat," ujar Siti saat dikonfirmasi Kompas.com, Kamis (6/2/2020).
Sementara, untuk persepktif fungsional (dari sisi Risma), Siti mengungkapkan, bisa jadi tindakan yang disfungsional atau tindakan laten yang tidak dikehendaki oleh seorang pejabat.
Sebab, tindakan menghina akan melemahkan legitimasinya.
Menurut Siti, tindakan menghina marak terjadi tentu tidak terlepas dari kemajuan teknologi dan sistem informasi yang berjalan tidak seimbang dengan kapasitas literasi media oleh warga.
Sehingga dalam menggunakannya bukanlah dengan kesadaran penuh akan fungsi media, namun justru telah dibelenggu oleh kehendak untuk mendapatkan pengakuan dan eksistensi diri,
"Kondisi ini tidak luput dari karakter masyarakat kita yang sebelumnya telah mengalami euforia dan kebebasan pers dan berpendapat yang dimiliki. Tentu tidaklah buruk, tapi perlu kearifan bersama bahkan pendampingan dalam penggunaannya," katanya lagi.
Sementara itu, ada juga berspektif lain yang dapat dibaca, yakni saat ini mayoritas pejabat publik masyarakat Indonesia merupakan orang sipil di mana sebelumnya didominasi oleh militer.
Adapun karakter sipil dan militer yang berbeda tersebut tentu melahirkan tipologi masyarakat yang berbeda.
Ia mencontohkan, kalau sipil cenderung egaliter, sementara militer lebih otoriter.
Membuat jera Selain itu, berkaca dari kasus penghinaan terhadap pejabat lain, Siti menyampaikan, dengan memenjarakan pelaku yang menghina mungkin menjadi solusi jangka pendek.
"Justru solusi jangka panjang adalah dimulai dari anak-anak tentang nilai-nilai tertentu, bagaimana cara menyampaikan pendapat," katanya lagi.
Adapun cara ini dapat dimulai dari lingkup keluarga, sekolah, maupun masyarakat.
Namun, yang perlu diperhatikan adalah karena kita lebih menghargai anak-anak kita berdasarkan nilai-nilai rapor yang cemerlang, bukan pada sikap dan perilaku bernilai luhur.
"Barangkali memang konsep kekuasaan kita mulai bergeser, tidak lagi milik siapa yang memiliki kapital, kharisma, atau otoritas, namun telah menyebar kepada siapa pun berasal dari mana pun," imbuh dia.
Meski begitu, Siti menilai warganet yang menghina Risma juga memiliki kuasa untuk mengatur Risma yang punya jabatan.
"Inilah yang disebut filsuf Michael Foucault sebagai governmentality," lanjut dia.
Nissa Sabyan Resmi Menikah dengan Ayus? Ririe Fairus Mendadak Singgung Soal Kehidupan Baru Sang Mantan Suami