Laporan Wartawan Grid.ID, Devi Agustiana
Grid.ID – Work from home ( WFH) semakin banyak dilakukan berbagai perusahaan, bahkan kini sistem WFH telah diperpanjang pula.
Hal ini tidak lain adalah bentuk dukungan physical distancing, guna menekan angka penyebaran covid-19.
WFH menjadi solusi agar orang-orang tidak berlalu lalang atau keluar rumah dan pembatasan mobilitas.
Tentu pembatasan mobilitas ini berdampak pada berubahnya jadwal orang-orang yang biasanya memiliki kegiatan harian salah satunya adalah olahraga.
Dilarang untuk keluar rumah membuat orang-orang pada akhirnya tak mampu untuk pergi ke tempat olahraga, seperti gym.
Solusinya adalah untuk berolahraga di rumah dengan memanfaatkan sejumlah alat seadanya yang ada dri rumah.
Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Olahraga (PDSKO), merekomendasikan untuk tetap aktif dan berolahraga selama berada di rumah.
Beberapa bentuk olaharaga yang bisa dilakukan seperti jalan cepat sekeliling rumah, naik turun tangga, senam aerobik lewat internet, lompat tali, serta melakukan squat, lunges dan push up, home workout, zumba, yoga, dan sebagainya.
Pasalnya, gaya hidup kurang gerak yang cenderung terjadi saat kondisi seperti ini, dapat menurunkan imunitas tubuh sehingga meningkatkan risiko terjadinya infeksi virus.
Sebaliknya, latihan fisik berintensitas sedang dapat meningkatkan sistem imunitas tubuh dan mengurangi risiko terjadi infeksi.
Latihan fisik intensitas tinggi dengan volume yang tinggi justru dapat menurunkan sistem imunitas tubuh sehingga meningkatkan risiko infeksi.
Baca Juga: Karena Pandemi Virus Corona, Justin Bieber Menunda Semua Rangkaian Konsernya di Tahun 2020
Lantas, bagaimana kita bisa mengetahui apakah olahraga yang dilakukan sudah cukup dan tidak berlebihan?
Hal ini karena olahraga yang ringan bagi orang yang sudah terlatih, seperti jogging, mungkin terlalu berat untuk orang yang tidak pernah berolahraga.
Dokter Michael Triangto, SpKO, yang membagikan rekomendasi PDSKO ini menjelaskan bagaimana kita bisa menilai apakah olahraga yang kita lakukan berlebihan atau tidak.
Patokannya bisa secara subjektif atau objektif.
Patokan subjektif adalah dengan melihat kondisi tubuh setelah berolahraga.
Apakah Anda merasa segar atau malah sakit?
Bila malah sakit, artinya olahraga yang dilakukan sudah terlalu berat dan harus dikurangi intensitasnya.
Sementara itu, patokan objektif adalah heart rate atau denyut jantung saat berolahraga.
Rumusnya yaitu mengurangi 220 dengan usia kita dalam tahun untuk mendapatkan denyut jantung maksimal.
Lantas, denyut jantung yang sehat saat berolahraga (training zone) adalah 50-70 persen dari denyut jantung maksimal.
Sebagai contoh, bila kamu berusia 20 tahun, maka denyut jantung maksimal adalah 200 (220 dikurangi 20), dengan training zone 100-140 (50-70 persen dari 200).
"Artinya, kurang dari 100, terlalu ringan. Lebih dari 140, berisiko tinggi," ujar dr Michael.
Jika pada awalnya Anda tidak biasa aktif bergerak, berjalan kaki saja mungkin sudah cukup untuk masuk ke training zone.
Nantinya, bila kamu sudah biasa berjalan kaki dan denyut jantung tidak lagi mencapai training zone, maka intensitas olahraga bisa ditingkatkan menjadi jalan cepat.
Setelah teradaptasi lagi, olahraga jalan cepat bisa ditingkatkan menjadi jogging.
Inilah cara berolahraga yang sehat.
Yang perlu diingat bahwa rumus ini hanya bisa dipakai apabila kamu dalam kondisi sehat.
"Sehat fisik, mental, dan sosial. Bukan karena ketiadaan penyakit," ujar dr Michael.
Oleh karena itu, pastikan Anda telah berkonsultasi dahulu dengan dokter olahraga dan tidak sembarangan melakukan latihan fisik. (*)
Source | : | kompas,IDea |
Penulis | : | Devi Agustiana |
Editor | : | Nurul Nareswari |