Laporan Wartawan Grid.ID, Devi Agustiana
Grid.ID – World Health Organization (WHO) telah mulai menggunakan istilah physical distancing atau jarak fisik sebagai cara untuk menghindari penyebaran virus corona lebih luas.
Langkah ini disebut sebagai "arah yang tepat" oleh para ahli.
Penyebaran virus corona ini tergolong cepat dan telah menjangkit ratusan negara.
Berbagai kebijakan pun dilakukan oleh setiap negara yang mengonfirmasi Covid-19 di negaranya, mulai dari penutupan bandara hingga pemberlakuan pembatasan terhadap pergerakan warganya.
Langkah ini tidak berarti bahwa secara sosial, seseorang harus memutuskan hubungan dan komunikasi dengan orang yang dicintai atau dari keluarganya.
"Saat ini, berkat teknlogi yang telah maju, kita dapat tetap terhubung dengan berbagai cara tanpa benar-benar berada dalam ruangan yang sama dengan orang lain secara fisik," kata ahli epidemiologi WHO Maria Van Kerkhove.
Maria mengatakan, WHO mengubah istilah dengan jarak fisik atau physical distancing secara sengaja karena ingin agar orang-orang tetap terhubung.
Virus Corona diketahui penyebaran utamanya melalui tetesan pernapasan, terutama saat orang yang terinfeksi batuk atau bersin.
Oleh karena itu, menjaga jarak fisik yang aman dianjurkan untuk mengurangi penularan.
Metode physical distancing ini nyatanya membuat kehidupan berubah, kita tak lagi dapat berkumpul bersama orang terdekat hingga mengganggu perekonomian dan bisnis yang ada.
Yang pasti kita pikirkan adalah sampai kapan physical distancing terjadi?
Sayangnya, physical distancing diyakini baru akan benar-benar selesai jika telah ditemukan vaksin dan obat untuk virus Corona, dan itu diperkirakan akan memakan waktu setahun atau lebih.
Baca Juga: Banting Setir Jadi Juragan Madu, Syahrini: Ini Berasal dari Nektar Bunga yang Terpilih!
"Virus ini akan beredar, berpotensi dalam waktu satu atau dua tahun, jadi kita perlu memikirkan skala waktu tersebut," kata Adam Kucharski, seorang epidemiologis di London School of Hygiene & Tropical Medicine, dikutip Vox.
“Tidak ada opsi yang baik di sini. Setiap skenario yang bisa kamu pikirkan memiliki kelemahan yang sangat besar.
Saat ini, tampaknya satu-satunya cara untuk mengurangi transmisi secara berkelanjutan adalah tindakan yang tidak memiliki patokan keberlanjutannya," kata Kurchaski.
Virus Corona sendiri merupakan virus yang belum pernah dialami oleh manusia.
Baca Juga: Penelitian Membuktikan Bercinta Secara Teratur Bisa Bikin Pria Panjang Umur, Ini Alasannya!
Sayangnya, sejumlah ahli kesehatan dunia yakin bahwa vaksin Covid-19 baru tersedia pada 2021.
Obat Covid-19 sendiri belum ditemukan, dan masih menggunakan obat dari penyakit virus lain seperti malaria (klorokuin) atau ebola (remdesivir).
"Saya pikir ide bahwa jika kita menutup sekolah dan menutup restoran selama beberapa minggu, kita menyelesaikan masalah (virus corona) dan kembali ke kehidupan normal, tapi bukan itu yang akan terjadi," kata Kucharski.
"Pesan utama yang tidak sampai ke banyak orang adalah berapa lama kita akan melakukan (physical distancing) ini."
Kucharski menjelaskan, alasan kita melakukan physical distancing adalah untuk mencegah jumlah penularan virus corona yang lebih meluas.
"Jika tidak melakukannya dengan sabar hingga tuntas, kita bisa memulai wabah baru kembali dan mengancam kesehatan masyarakat yang rentan seperti orangtua dan mereka yang punya riwayat sakit kronis."
Pemerintah juga diperingatkan agar tidak mengandalkan apa yang disebut herd immunity atau kekebalan kelompok.
Herd immunity adalah keadaan ketika sejumlah anggota kelompok tersebut (biasanya dalam persentase yang tinggi) memiliki imun dari sebuah penyakit, sehingga kemungkinan penyebaran virus dari orang ke orang dalam komunitas tersebut menjadi hampir tidak ada.
Baca Juga: 2 Tahun Vakum, BigBang Kabarnya Bakal Perdana Bawakan Lagu Baru di Festival Coachella!
Meski demikian, herd immunity bisa jadi bukan jawaban atas pandemi virus corona.
Saat ini, belum diketahui secara jelas apakah setelah periode berbulan-bulan atau bertahun-tahun, seseorang dapat kehilangan kekebalannya dan terinfeksi virus kembali.
Herd immunity juga memerlukan 'ongkos' jutaan orang untuk terinfeksi, atau mungkin meninggal.
Adapun beberapa negara melaporkan bahwa kasus baru infeksi virus corona telah menurun karena physical distancing.
China, misalnya, yang menerapkan lockdown sejak bulan Januari menyebut bahwa kasus penularan lokal mereka telah turun jadi 0 kasus pada Maret lalu.
Tetapi, penurunan kasus bukan berarti wabah sudah selesai.
Selama vaksin dan obat belum tersedia, virus corona bisa jadi hadir dalam gelombang kedua.
"Akankah warga negara dan para pemimpin kita mendukung langkah-langkah physical distancing lebih lama? Aku tidak yakin mereka akan melakukannya," ujar Tara Smith, epidemiolog dari Kent University, dikutip dari Vox.
Smith menjelaskan, keberhasilan singkat physical distancing dalam mengatasi penularan virus Corona bisa jadi bumerang.
Kala orang-orang mengira wabah sudah selesai, mereka tidak sadar bahwa apa yang mereka lakukan belum cukup.
Sebelumnya, sejumlah ahli kesehatan memang memperingatkan bahwa keberhasilan China menekan persebaran kasus lokal bukan berarti masalah sudah selesai.
Peringatan tersebut diberikan setelah pemerintah China mencabut protokol lockdown Wuhan dan Hubei pada akhir Maret.
Lockdown di Wuhan dan bagian provinsi Hubei lainnya berlangsung sejak 23 Januari 2020.
"Kekhawatirannya adalah apa yang akan terjadi setelah mereka mengakhiri langkah-langkah (preventif) ini,” kata David Heymann, seorang profesor epidemiologi penyakit menular dari London School of Hygiene & Tropical Medicine, dikutip dari Japan Times.
(*)
Source | : | Kompas.com,health.grid.id |
Penulis | : | Devi Agustiana |
Editor | : | Okki Margaretha |