Laporan Wartawan Grid.ID, Devi Agustiana
Grid.ID – Banyak pertanyaan soal hukumnya bagi ibu hamil dan ibu menyusui apabila meninggalkan puasa Ramadhan.
Pasalnya, banyak yang beranggapan kalau ibu menyusui dipaksakan puasa Ramadhan, maka ASI akan kering.
Atau jika ibu hamil dipaksakan puasa Ramadhan, akan mengganggu kondisi janin.
Lantas, bagaimana hukumnya dan apa yang seharunya dilakukan oleh ibu hamil dan ibu menyusui dalam menghadapi puasa Ramadhan kali ini?
Menurut segi kesehatan dan medis yang dikutip, ibu hamil yang melaksanakan puasa Ramadhan itu tergolong aman.
Asalkan, ibu hamil tersebut tak memiliki komplikasi selama kehamilan, memiliki berat badan normal, menjalani gaya hidup sehat dan mendapatkan nutrisi yang cukup.
Namun para dokter menganjurkan ibu hamil tidak puasa terlebih dahulu di usia kandungan trimester pertama.
Menurut dr. Juwalita Surapsari, M.Gizi, Sp.GK, Spesialis Gizi Klinis dari Rumah Sakit Pondok Indah, ibu hamil yang ingin berpuasa harus memenuhi beberapa syarat terlebih dahulu.
Pertama, kehamilannya sudah di trimester kedua dan ketiga.
Bila masih pada trimester pertama, ibu harus tidak memiliki keluhan sama sekali, dan telah berkonsultasi ke dokter terlebih dahulu.
“Trimester pertama merupakan periode pembentukan organ tubuh janin. Jadi, kebutuhan nutrisinya harus terpenuhi,” ujar Juwalita.
Hal tersebut karena di trimester pertama ini, organ janin masih berkembang dan burtuh asupan banyak dari sang ibu.
Baca Juga: Pandangannya Tentang Konspirasi Virus Corona Ramai, Jerinx Seret Nama Deddy Corbuzier, Ada Apa ya?
Berpuasa di trimester kedua bagi ibu hamil justru akan semakin mudah.
Karena pada trimester kedua ini, gangguan seperti morning sickness dan muntah-muntah sudah berkurang.
Dilansir Grid.ID dari islam.nu.or.id, menurut Mazhab Syafii, jika ibu hamil khawatir akan memberikan dampak negatif pada dirinya dan anak, maka ia wajib membatalkan puasanya.
Sebagai gantinya, maka ibu menyusui tersebut harus men-qadha puasa Ramadhan tersebut di luar bulan Ramadhan.
Qadha puasa atau bayar ganti puasa itu dilakukan sebanyak hari puasa Ramadhan yang ditinggalkan ibu hamil itu.
Akan tetapi, jika ibu hamil itu hanya mengkhawatirkan anaknya dalam bahaya, sehingga meninggalkan puasa Ramadhan, maka selain qadha harus juga bayar fidyah.
Hal yang sama pun berlaku bagi ibu menyusui.
اَلشَّافِعِيَّةُ قَالُوا اَلْحَامِلُ وَالْمُرْضِعُ إِذَا خَافَتَا بِالصَّوْمِ ضَرَرًا لَا يُحْتَمَلُ سَوَاءٌ كَانَ الْخَوْفُ عَلَى أَنْفُسِهِمَا وَوَلِدَيْهِمَا مَعًا أَوْ عَلَى أَنْفُسِهِمَا فَقَطْ أَوْ عَلَى وَلَدَيْهِمَا فَقَطْ وَجَبَ عَلَيْهِمَا الْفِطْرُ وَعَلَيْهِمَا الْقَضَاءُ فِي الْأَحْوَالِ الثَّلَاثَةِ وَعَلَيْهِمَا أَيْضًا اَلْفِدَيَةُ مَعَ الْقَضَاءِ فِي الْحَالَةِ الْأَخِيرَةِ وَهِيَ مَا إِذَا كَانَ الْخَوْفُ عَلَى وَلَدِهِمَا فَقَطْ
“Madzhab syafii berpendapat, bahwa perempuan hamil dan menyusui ketika dengan puasa khawatir akan adanya bahaya yang tidak diragukan lagi, baik bahaya itu membahayakan dirinya beserta anaknya, dirinya saja, atau anaknya saja.
Maka dalam ketiga kondisi ini mereka wajib meninggalkan puasa dan wajib meng-qadla`nya. Namun dalam kondisi ketiga yaitu ketika puasa itu dikhawatirkan membayahakan anaknya saja maka mereka juga diwajibkan membayar fidyah”. (Abdurrahman al-Juzairi, al-Fiqh ‘ala Madzahib al-Arba’ah, Bairut-Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, cet ke-2, h. 521).
Untuk pembayaran fidyah, yang harus dibayarkan adalah satu mud (berupa makanan pokok seperti beras) untuk setiap hari yang ditinggalkan yang diberikan kepada orang miskin atau orang faqir.
Satu mud kurang lebih 675 gram beras, dan dibulatkan menjadi 7 ons.
Berdasarkan penjelasan Cholil Nafis dari MUI, da 4 orang yang wajib bayar fidyah jika meninggalkan Puasa Ramadhan, berikut diantaranya:
(*)
Source | : | Kompas.com,Tribunnews.com |
Penulis | : | Devi Agustiana |
Editor | : | Okki Margaretha |