Grid.ID - Terjadi lonjakan jumlah pasien positif Covid-19 di Indonesia. Jika sebelumnya kasus corona berkisar 300-400 per hari, kini penambahan pasien positif telah melebihi angka 500 per hari.
Juru bicara pemerintah untuk penanganan virus corona, Achmad Yurianto, mengumumkan data terbaru terkait pasien dan kasus Covid-19 di Indonesia.
Berdasarkan data pemerintah hingga Kamis (14/5/2020) pukul 12.00 WIB, diketahui ada penambahan 568 kasus Covid-19 dalam 24 jam terakhir.
Dengan demikian, hingga saat ini total ada 16.006 kasus Covid-19 di Indonesia, terhitung sejak kasus pertama diumumkan pada 2 Maret 2020.
Hal ini diumumkan Achmad Yurianto dalam konferensi pers di Graha BNPB pada Kamis sore.
"Hari ini kami dapatkan (penambahan pasien) 568 orang, sehingga totalnya ada 16.006 orang," ucap Achmad Yurianto, dikutip dari Kompas.com.
Pemerintah Indonesia mengaku menyiapkan skenario khusus yang akan diterapkan setelah pandemi berakhir atau setidaknya saat laju penularannya melambat.
Hal itu dilakukan untuk mencegah terjadinya gelombang kedua Covid-19 di Indonesia.
"Indonesia mengadopsi kebijakan yang cocok dan sesuai dengan keadaan dan karakteristik di Indonesia. Kami ingin mencegah terjadinya gelombang kedua Covid-19," ujar Ketua Tim Pakar Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Wiku Adisasmito dikutip dari Kompas.com, Rabu (6/5/2020).
Apa itu gelombang kedua virus corona ? Epidemiolog Indonesia di Griffith University Australia Dicky Budiman mengatakan, dalam setiap pandemi sejarah membuktikan selalu muncul gelombang kedua.
Gelombang kedua muncul setelah pandemi mengalami satu kali kurva. Satu kali kurva atau gelombang pertama dimulai saat kasus pertama dikonfirmasi, sampai pada puncak kasus dan kemudian mengalami penurunan.
"Swine flu pada 2009 terjadi dua gelombang di beberapa negara, media tidak seramai saat ini, orang sekarang begitu haus informasi," kata Dicky dalam obrolan di video youtube Mom Evin 123.
Baca Juga: Roy Kiyoshi Direhabilitasi, Polisi Sebut Proses Hukum Tetap Berjalan
Pada pandemi Flu 1918 yang menelan puluhan juta orang, Dicky menyebut, jeda antara gelombang pertama dan kedua hanya berselang satu minggu atau satu bulan saja.
Sementara terkait Indonesia, Dicky yang terlibat dalam penanganan pandemi flu burung mendampingi Siti Fadilah Supari (mantan Menteri Kesehatan RI) mengatakan, belum menyelesaikan fase gelombang pertama Covid-19.
"Indonesia memasuki fase puncak gelombang pertama saja belum," kata dia.
Indonesia yang terdiri dari negara kepulauan, akan mengalami perbedaan dalam melihat gelombang pertama virus corona.
Sehingga bisa terjadi adanya variasi epidemi di sejumlah pulau.
"Di Jawa, kemungkinan akan lama," ujar dia.
Penyebab gelombang kedua Dicky menjelaskan, selama belum ditemukan vaksin atau obat terkait virus corona atau Covid-19, maka akan terbuka potensi munculnya gelombang kasus corona.
"Gelombang pandemi muncul karena jumlah orang yang rentan atau belum memliki kekebalan jauh lebih besar, daripada yang sudah terpapar," jelas dia.
Sehingga, karena belum adanya vaksin atau obat Covid-19, munculnya gelombang kedua berpotensi sangat besar, sebab virus SARS-CoV-2 leluasa menginfeksi karena belum ada perlindungan di masyarakat.
Selain itu, gelombang kedua juga bisa terjadi karena kembali melonggarnya upaya pencegahan atau physical distancing di masyarakat.
"Semakin merasa bebas, tidak jaga jarak, tidak memakai masker, ini mempercepat terjadinya serangan gelombang kedua atau ketiga," ungkap Dicky.
Bagaimana dengan Herd Immunity? Dicky menjelaskan, Herd Immunity atau kekebalan komunitas lebih tepat untuk menyebut kondisi apabila dikaitkan dengan sudah ditemukannya vaksin.
Sehingga, ketika vaksin belum ditemukan maka istilah Herd Immunity menurut dia kurang pas untuk pandemi Covid-19.
Dicky juga menekankan bahwa pendekatan Herd Immunity sebelum ada vaksin sangat berbahaya apabila diterapkan.
"Karena ini bukan penyakit flu biasa," ungkapnya.
Dalam istilah pemahaman kekebalan komunitas yang terjadi saat ini, Dicky menyebut, data WHO secara global di dunia baru sekitar 3 persen yang kemungkinan memiliki kekebalan Covid-19.
"Masih besar yang rentan terkena, masih 90 persen lebih," jelas dia.
Apakah penyintas Covid-19 kebal?
Terkait hal itu, Dicky menjelaskan, virus corona Covid-19 adalah penyakit baru.
Sehingga para ilmuwan belum banyak tahu karakter dan sifat virus tersebut.
Termasuk apakah seseorang yang terinfeksi dan sembuh bisa memiliki kekebalan langsung belum ada jawaban pasti.
"Masih diteliti, kami ilmuwan menjawab sesuai dengan data dan literatur terkini. Sehingga kami selalu tekankan bahwa pencegahan lebih baik dari mengobati," kata Dicky.
Dia memaparkan, Covid-19 memang disebut-sebut sebagai penyakit paru-paru. Tetapi belakangan penelitian membuktikan seseorang yang terinfeksi juga mengalami dampak organ vital lain seperti jantung, otak, ginjal, hati dan pembuluh darah.
"Pada usia dewasa muda ancaman kematian disebutkan juga tinggi karena adanya pembekuan darah," ujar dia.
Strategi menghadapi pandemi
Strategi pertama yang dilakukan dalam setiap pandemi adalah memperbanyak jangkauan testing.
Hal itu untuk menentukan siapa yang terinfeksi dan mencegah jatuhnya korban dalam kondisi kritis.
"Kalau dia punya penyakit bawaan dan jatuh dalam kondisi kritis, peluang kematiannya cukup besar," kata dia.
Testing juga mencegah penyebaran semakin meluas, setelah dilakukan pelacakan kontak langsung dengan korban pasien yang telah dinyatakan positif.
Lalu kemudian isolasi untuk melindungi masyarakat agar tidak terkena, terutama populasi yang berisiko seperti orang tua, wanita hamil dan orang yang sedang dalam terapi dengan penyakit kanker dan penyakit kronis.
(*)
3 Bulan Nunggak SPP, Siswa SD Duduk di Lantai Jadi Tontonan Teman Sekelas, Pagi sampai Siang Tak Boleh Duduk di Bangku
Source | : | Kompas |
Penulis | : | None |
Editor | : | Winda Lola Pramuditta |