Laporan Wartawan Grid.ID, Devi Agustiana
Grid.ID – Covid-19 masih menjadi momok menakutkan di setiap sudut kota.
Banyak negara hingga kini masih berjuang mati-matian untuk melawan virus yang masih dicari vaksinnya ini.
Mengutip Covid19.go.id, laman resmi satuan tugas penanganan Covid-19 di Indonesia, untuk Indonesia per 13 September 2020 tercatat 218.328 positif, 155.010 sembuh, 8.723 meninggal dunia.
Bahkan, DKI Jakarta diketahui selama lima minggu terakhir berada pada zona merah.
Sejauh ini ada 18 daerah yang melaksanakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) sejak awal.
Yakni di tingkat provinsi ada DKI Jakarta dan Sumatera Barat.
Lalu ada 16 kabupaten/kota.
"Saat ini yang masih menjalankan PSBB adalah DKI Jakarta dan Banten. Sedangkan Kabupaten/kota, Kota Bekasi, Kota Bogor, Kabupaten Bogor, Kabupaten Bekasi dan Kota Depok. Seluruh kabupaten/kota ini berakhir pada 29 September," jelas Juru Bicara Satgas Penanganan Covid-19 Prof. Wiku Adisasmito, Kamis (10/9/2020) di Kantor Presiden.
Baca Juga: Manfaatkan Situasi Pandemi, Siti Badriah Akui Ingin Program Punya Anak
Lebih lanjut, penanganan Covid-19 yang tepat salah satunya dengan mengenali gejalanya.
Dengan mengetahui tanda-tanda tubuh yang terpapar Covid-19, maka penanganan bisa segera dilakukan.
Mengutip Tanya Jawab Seputar Virus Corona yang disusun oleh Kementerian Republik Indonesia, USAID, dan Germas, Mei 2020, salah satu gejala ringan terjadinya infeksi virus corona adalah malaise.
Memang istilah ini masih asing bagi masyarakat awam.
Gejala ringan ini menjadi hal menakutkan, karena ketika seseorang sudah terpapar virus dan tak menunjukkan tanda serius, ia tetap bisa menularkannya kepada orang lain.
Dilansir Grid.ID dari Kompas.com, Epidemiolog dari Griffith University Australia Dicky Budiman menjelaskan, meski terdengar asing, malaise sebenarnya adalah istilah yang umum di bidang kedokteran.
"Malaise itu rasa lesu, lemah, lemes. Mau ngapa-ngapain jadi males karena nggak ada tenaga. Itu adalah respon bahwa tubuh itu sedang dalam situasi melawan infeksi," kata Dicky saat dihubungi, Minggu (13/9/2020).
Dia menjelaskan, malaise adalah salah satu bentuk reaksi pertahanan tubuh.
Tujuannya adalah, agar tubuh beristirahat dan bisa berkonsentrasi untuk melawan ancaman yang masuk.
"Malaise tidak cuma di Covid-19. Semua penyakit infeksi itu umumnya mengalami gejala itu," kata Dicky.
Namun, Dicky menambahkan, ada perbedaan definisi antara malaise dengan kelelahan, atau yang dalam bahasa Inggris disebut fatigue.
"Fatigue adalah kelelahan yang teramat sangat, kurang energi, kurang motivasi. Itu berbeda dengan malaise, yang menjelaskan secara umum perasaan lelah. Karena disebut perasaan maka sifatnya subjektif," kata Dicky.
"Tinggal melihat perilakunya, katakanlah dalam dua minggu terakhir, berisiko tidak. Seperti misalnya, jarang pakai masker, sering kumpul-kumpul, kalau makan berdekatan, gowes bareng, termasuk bepergian dengan kendaraan umum," kata Dicky.
Jadi, ia menyebut, seseorang bisa mengukur sendiri apakah dirinya termasuk berisiko tertular Covid-19 atau tidak.
Jika merasakan gejala malaise, dan riwayat perilaku dalam dua minggu terakhir ternyata memang berisiko tinggi, maka Dicky menyarankan untuk segera mengambil tindakan.
Hal pertama, yang harus dilakukan adalah, mengistirahatkan diri di tempat tinggal masing-masing, baik itu di rumah maupun di kos. Jangan pulang kampung.
Kemudian menghubungi tenaga kesehatan, atau menginformasikan kantornya bahwa dia merasakan sakit.
"Umumnya di Indonesia, kalau ada malaise itu disertai dengan gangguan penciuman. Dia tidak bisa mencium bau kuat, misalnya minyak kayu putih. Jika tidak sedang pilek dan kesulitan mencium bau, maka ada dugaan kuat terinfeksi Covid-19, tapi belum diagnosa," kata Dicky.
Dengan mengetahui sedini mungkin penanganan Covid-19, maka kita tak berpotensi menularkanya kepada orang lain.
Sehingga rantai penularan Covid-19 dapat segera dihentikan dan tak semakin parah.
(*)
Source | : | Kompas.com,Covid19.go.id |
Penulis | : | Devi Agustiana |
Editor | : | Nurul Nareswari |