Grid.ID - Tak terasa sudah 11 tahun, komponis lagu anak A.T. Mahmud meninggalkan kita semua.
Meski begitu, karya-karya ciptaan A.T. Mahmud masih menjadi hal yang patut dibanggakan oleh masyarakat Indonesia.
Kini banyak anak-anak telah menjadi miniatur orang dewasa, seperti menyanyikan lagu cinta, menari dan berpakaian sebagaimana orang dewasa.
Dulu, sosok A.T. Mahmud mendudukkan anak pada tempatnya, seperti dunia anak yang ajaib, serba mungkin, dengan imajinasi yang tidak bertepi.
Salah satu karya A.T. Mahmud kala itu dibawakan oleh Tasya Kamila, penyanyi dengan suara masih kekanak-kanakan.
Baca Juga: Sempat Berjuang Keras dengan Masalah Makan, Demi Lovato Antusias dengan Perannya di Program TV untuk Membantu Para Penderita Eating Disorder
Kini Tasya Kamila sudah mengantungi gelar S2—seolah-olah mewakili gadis kecil di dalam “Totto-chan” karya Tetsuko Kuroyanagi yang senang melamun, suka berbicara kepada burung, dan menatap ke luar jendela.
Di antara ratusan lagu gubahan A.T Mahmud, ada "Pelangi-Pelangi", "Bintang Kejora," "Cemara", "Pemandangan", atau "Ambilkan Bulan Bu" yang merupakan refleksi eksplorasi si anak akan fenomena alam.
Di sinilah ia menggambarkan sawah seperti permadani dan gunung yang berpayung awan dalam "Pemandangan", atau gerak cemara seperti tangan penari dalam “Cemara.”
Ada lonjakan kegembiraan seorang anak kota ketika paman mengajaknya berlibur di desa dalam "Paman Datang." Terbayang sudah hal-hal menyenangkan seperti mandi di sungai, turun ke sawah, dan menggiring kerbau ke kandang.
Apa yang terjadi di dunia sastra anak mungkin tidak “sedramatis” di dunia musik anak. Ada puluhan, bahkan ratusan penulis yang dengan senang hati menyebut dirinya penulis cerita anak.
Namun jelas kita kehilangan sosok seperti Toha Mochtar, Trim Sutedja, Abdul Hadi W.M, Leila S. Chudori, Julius Siyaranamual, Mohamad Sobary, atau Arswendo Atmowiloto dan lain-lain yang pernah menumpahkan kreativitas sastranya untuk dunia kecil yang sarat imajinasi dan rasa ingin tahu itu pada 1980-1990’an.
Di tangan mereka dongeng itu menjadi sastra. Dan mereka sadar, usia 6 – 11 tahun merupakan sebuah ‘golden periode’.
Masa yang bakal menentukan apakah si anak akan menjadi manusia yang produktif atau konsumtif, kreatif atau pasif, imajinatif atau mekanistis, punya sensitivitas yang tinggi terhadap pelestarian alam atau meletakkan faktor komersil di atas segalanya.
Memang sudah saatnya kita membicarakan masalah lingkungan hidup.
Tatkala pembabatan hutan kemudian menerbitkan banjir yang tak terbayangkan, dan sisa-sisa penambangan menciptakan danau-danau buatan di Kalimantan, sastra pun layak berwarna “hijau.”
Termasuk sastra anak yang, misalnya, berkisah tentang seorang raksasa vegetarian –tubuhnya setinggi tugu Monas, dan sepatunya seukuran bus kota-- yang sekonyong-konyong masuk kota.
Dia terpaksa turun gunung karena pohon-pohon pinus yang merupakan makanan kegemarannya, digusur-ditebang pengembang yang berencana mendirikan villa.
Tentu saja dongeng yang mengandung pesan “hijau” dan disampaikan dalam tata bahasa yang apik dan narasi indah itu sangat diperlukan.
Sastra Hijau itu Kaya
Ya, sastra hijau yang menyempitkan diri pada tema tunggal memerangi perusakan lingkungan itu dalam prakteknya memberikan kebebasan nyaris tidak terbatas kepada penulisnya.
Kebebasan untuk menokohkan hampir apa saja: pohon, banjir bandang, angin yang senantiasa membisikkan pesan ekologis, tetes hujan, kembang-kembang rumput, bahkan gelombang tsunami di bibir pantai.
Dengan imajinasi seluas cakrawala, seorang anak pembaca sastra hijau tanpa kesulitan menangkap: manusia bukanlah satu-satunya makhluk di muka bumi ini. Ia harus berbagi.
Diakui atau tidak, binasanya lingkungan hijau merupakan dosa kolektif para orang tua yang telah mewariskan bumi yang gundul, hewan liar yang kehilangan habitatnya, dan aneka bencana buatan manusia lainnya.
Semua mesti terlibat dalam gerakan meluruskan kesalahan bersama ini.
Kendati bukan yang pertama, apa yang dilakukan oleh pihak swasta seperti Sayur Kendal belakangan ini patut diikuti.
Sekecil apa pun skalanya, perusahaan sayur-mayur yang menyelenggarakan Sayembara Menulis Cerpen Anak “Kisah Bumi” sepanjang pertengahan Januari–Maret 2021 ini telah melanjutkan sebuah tradisi “hijau.”
Yakni, menanamkan kesadaran untuk memelihara lingkungan hidup lewat bacaan yang bermutu kepada anak-anak kita.
(*)
Pak Tarno Ketiban Rezeki Nomplok Usai Viral Jualan Ikan Cupang, Tangisnya Pecah saat Diberi Sosok ini Rp 50 Juta
Penulis | : | None |
Editor | : | Nailul Iffah |