Grid.ID – Narkoba masih menjadi masalah serius yang dihadapi Indonesia. Dilansir dari laporan United Nations Office on Drugs and Crime (UNODC) pada 2018, Indonesia masuk ke dalam jajaran segitiga emas perdagangan narkoba, khususnya metamfetamin atau dikenal dengan nama sabu.
Selain Indonesia, negara lain yang masuk dalam jajaran segitiga emas lainnya adalah Jepang, Australia, Selandia Baru, dan Malaysia.
Tidak hanya itu, pengguna sabu di Indonesia juga cukup tinggi. Mengutip Infografis Pencegahan dan Pemberantasan Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap Narkotika (P4GN) Triwulan IV 2020 milik Badan Narkotika Nasional (BNN), sabu menempati peringkat pertama sebagai jenis narkoba yang banyak digunakan dengan jumlah 7.541 kasus dan 9.924 tersangka.
Bagi kamu yang belum tahu, sabu awalnya merupakan obat yang biasa digunakan untuk mengobati seseorang dengan gangguan tidur atau epilepsi. Dilansir dari Kompascom, Kamis (8/7/2021), sabu juga biasa dipakai untuk mengobati gejala Attention-Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD) dengan takaran dan pengawasan ketat dari ahli.
Ketika obat masuk ke dalam tubuh, zat kimia tersebut akan memicu produksi hormon dopamin, serotonin, dan norepinefrin. Hormon ini membuat tubuh menjadi rileks dan bahagia. Dengan takaran yang tepat, obat ini bisa meringankan berbagai gejala yang dirasakan oleh penderita masalah kesehatan di atas.
Sayangnya, meski memiliki manfaat bagi kesehatan, jenis candu ini justru banyak beredar secara ilegal dan berbahaya. Menurut laman BNN, obat-obatan ini awalnya diselundupkan dari luar negeri. Namun seiring berjalannya waktu, jenis narkoba ini pun mulai diproduksi dalam negeri.
Bentuk sabu yang sering disalahgunakan umumnya merupakan sabu dengan bentuk halus seperti kristal atau dikenal dengan serbuk putih. Serbuk ini tidak berbau, pahit, dan mudah larut dalam air. Sabu biasanya dikonsumsi dengan cara dijadikan rokok, ditelan jika berbentuk pil, disuntikkan ke dalam tubuh, atau dihisap melalui hidung.
Dikutip dari laman VeryWell Mind, salah satu penyebab seseorang menggunakan sabu umumnya disebabkan persepsi salah yang menganggap zat ini dapat membuat seseorang lebih percaya diri, berani berbicara di depan umum, hingga menghilangkan rasa canggung.
Baca Juga: Deretan Artis Ini Menemukan Jodoh Melalui Kenalan di Media Sosial, Yuk Intip Siapa Saja!
Padahal, penyalahgunaan sabu justru membuat pengguna berperilaku aneh, terutama ketika berada di fase “tinggi”. Mereka umumnya kesulitan membedakan hal nyata dengan halusinasi.
Efek sabu
Di samping mengalami halusinasi, efek lain dari penggunaan sabu adalah seseorang akan terus menginginkan dosis obat yang lebih tinggi. Seperti disampaikan di atas, sabu dapat memberikan efek bahagia dan bersemangat sehingga pemakainya akan merasa bergantung pada obat tersebut.
Selain membuat ketergantungan, sabu juga bisa memicu gangguan fisik dan mental pada penggunanya, utamanya ketika efeknya hilang. Dilansir dari laman Medical News Today, sabu bisa memicu perasaan mual, peningkatan agresivitas, hingga emosi yang tidak terkontrol.
Apabila pengguna sabu terbiasa mengonsumsi obat ini setiap hari, maka ketika ia tidak mendapat asupan sabu, pengguna bisa mengalami perubahan suasana hati yang ekstrem, sehingga memicu terjadinya risiko pelanggaran hukum.
Dalam beberapa kasus, konsumsi sabu juga bisa memberi efek jangka panjang pada tubuh. Efek sabu dapat menyebabkan kerusakan pembuluh darah di otak sehingga memicu terjadinya strok, gagal jantung, hati, ginjal, dan paru-paru. Penggunaan sabu juga bisa memicu kerusakan otak, termasuk kehilangan memori dan daya pikir.
Upaya pemberantasan sabu
Mengingat sabu memiliki dampak destruktif pada seseorang, diperlukan upaya pemberantasan dari seluruh elemen masyarakat melalui P4GN. Salah satu langkah pemberantasan narkoba dilakukan oleh BNN dan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) sejak 2011.
Adapun upaya tersebut dilakukan melalui monitoring dan analisis di berbagai jalur, mulai dari pos, telekomunikasi, penyiaran, informasi, hingga transaksi elektronik. Sementara untuk pemberantasan narkoba via internet, Kemenkominfo menggandeng para ahli Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) untuk melakukan monitoring dan pelaporan.
Langkah ini ditempuh guna mencegah penyebaran penyalahgunaan narkoba di kalangan usia 15 sampai 35 tahun di tengah pandemi Covid-19. Direktur Informasi dan Komunikasi Politik, Hukum, dan Keamanan, Kemenkominfo, Bambang Gunawan, menyebut Kemenkominfo akan terus membantu BNN dalam melakukan sosialisasi tentang bahaya narkoba.
”Kalau BNN dari sisi penindakan, kami membantu dari sisi pencegahan lewat sosialisasi bahaya narkoba. Salah satunya melalui agenda Bela Negara yang salah satu bentuknya adalah mendorong generasi muda untuk aktif berkarya,” ujar Gunawan melalui pernyataan resmi, Selasa (9/11/2021).
Melalui agenda Bela Negara, Kemenkominfo mengajak generasi muda untuk memanfaatkan media sosial sebagai wadah berekspresi yang positif dan benar. Gunawan berharap, apabila anak muda disibukkan dengan menciptakan konten kreatif, keinginan untuk mencoba narkoba pun dapat ditekan.
Senada dengan Gunawan, Menteri Kominfo Johnny G. Plate menyatakan bahwa pemerintah hadir untuk generasi milenial. Dengan adanya kerja sama antara Kemenkominfo dengan BNN, ia berharap, milenial dapat selalu produktif dan berkarya sehingga dapat menjadi generasi antinarkoba.
“Pemerintah hadir saat ini ingin mengantar milenial menjadi pemenang di eranya,” ujarnya.
Malangnya Nasib Sarwendah, Dilarikan ke RS dan Terbaring Lemah, Begini Kondisinya Sekarang
Penulis | : | Fathia Yasmine |
Editor | : | Sheila Respati |