Grid.ID - Ada pepatah Jawa yang berbunyi, “Jalma angkara mati murka,” yang kira-kira artinya kemarahan mengantarkan manusia pada kemalangan atau celaka.
Pesan pepatah itu sudah jelas: jangan marah, pokoknya, jangan marah!
Anjuran untuk menahan amarah bukan hanya terdapat pada masyarakat Jawa, melainkan juga di banyak kebudayaan lain, termasuk dalam ajaran agama.
Amarah (wrath) atau dalam bahasa Latin, ira, adalah satu dari tujuh dosa pokok (seven deadly sins) dalam ajaran Kristiani. Enam dosa lainnya adalah kesombongan (pride; superbia), ketamakan (greed; avaritia), kedengkian (envy; invidia), hawa nafsu (lust; luxuria), kerakusan (gluttony; gula), dan kemalasan (sloth; acedia).
Amarah, atau ira, dan bagaimana mengelolanya, menjadi pokok bahasan buku How to Keep Your Cool: Sebuah Panduan Klasik Mengelola Amarah (2021), sehimpun teks pilihan Seneca yang telah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia.
Buku ini termasuk dalam seri filsafat (Stoik) terbitan Kepustakaan Populer Gramedia bersama How to Die: Sebuah Panduan Klasik Menjelang Ajal (2020), How to Be Free: Sebuah Panduan Klasik Hidup Stoik (2021), dan How to Win an Argument: Sebuah Panduan Klasik tentang Seni Persuasi (2021).
How to Keep Your Cool dibuka dengan satu kutipan provokatif dari Seneca, “Kemarahanmu adalah sejenis kegilaan, karena kau menetapkan harga tinggi untuk hal-hal tak berharga.”
Amarah sering menjadikan kita tidak bisa berpikir jernih, kemudian kita memberi respons besar dan gila-gilaan terhadap sesuatu yang sebetulnya tidak penting-penting amat.
Dalam kata pengantar buku ini, James Romm memberi pertanyaan yang menarik untuk dipikirkan.
“Apakah benar-benar penting bahwa seseorang tidak menghormati Anda, sepenting masalah perubahan iklim global? Atau ancaman perang nuklir? Atau fakta bahwa bintang-bintang runtuh ke dalam lubang hitam di bagian lain galaksi kita, menelan segala yang ada di sekitarnya?”
Apa arti ego yang kita bela habis-habisan dengan amarah dibandingkan itu semua?
Penulis | : | Grid |
Editor | : | Nindya Galuh Aprillia |