Grid.ID - Uji keperawanan pada zaman kuno ini ternyata ngeri dan tak masuk akal.
Bagaimana tidak ngeri dan tak masuk akal, uji keperawanan bagi para gadis muda pada zaman kuno.
Hal ini dikarenakan uji keperawanan bagi para gadis muda zaman kuno yakni yang tak perawan siap-siap diambang kematian.
Tak terlalu beda dengan zaman sekarang, selama ribuan tahun para pria sangat terobsesi dengan keperawanan.
Zaman sekarang tes keperawanan dilakukan untuk beberapa kepentingan, misalnya pekerjaan atau persiapan menikah.
Beruntungnya, tes atau uji keperawanan saat ini dilakukan dengan cara yang 'masuk akal'.
Keyakinan Kuno Tentang Keperawanan
Dengan bangkitnya pertanian sekitar 5.000 hingga 10.000 tahun yang lalu, tergantung pada wilayahnya, diyakini konsep bagi keperawanan muncul karena kebutuhan seorang ayah untuk menjadikan anak-anak perempuannya sebagai komoditisasi demi kelanjutan masyarakat pertanian.
Ini dikenal sebagai paternitas atau hipotesis properti, yang menempatkan wanita perawan sebagai properti material.
Tujuan mereka adalah untuk hamil, membesarkan anak-anak, dan memastikan garis keluarga ayah berlanjut.
Dengan menciptakan konsep keperawanan, seorang ayah dapat meyakinkan keluarga mempelai pria bahwa tidak ada anak dari lelaki lain.
Beberapa catatan awal tentang keperawanan berasal dari Mesir, Yunani, Roma, dan Kristen awal.
Dari sumber-sumber ini, jelaslah untuk melihat perkembangan budaya seperti sekarang ini.
Keperawanan tidak memiliki definisi universal.
Menurut Douglass dan Teeter, Mesir Kuno, selama Kerajaan Baru (1570 SM dan 1544 SM), tidak melihat keperawanan sebagai hal yang penting untuk menikah.
Diasumsikan bahwa hubungan seksual dapat diterima secara sosial selama masa ini.
Namun, begitu menikah, kedua pasangan itu diharapkan secara eksklusif bersifat monogami.
Uji keperawanan
Sejarawan Yunani terkenal Herodotus (450 SM) menyebutkan pengujian perawan dengan Amazon dari Scythia.
Menurut catatan sejarah, yang akurasinya belum diverifikasi, gadis-gadis Scythian Amazon tidak dianggap wanita sampai mereka membunuh seorang pria dalam pertempuran.
Hanya dengan begitu mereka dapat dianggap murni dan siap menikah, dan bahwa jika tidak ada laki-laki yang terbunuh, gadis itu akan tetap perawan.
Dalam pengertian ini, keperawanan berarti kemurnian nilai sebagai lawan memiliki selaput dara yang utuh.
Bahkan, keperawanan di dunia kuno mungkin merujuk pada apakah seorang wanita menikah atau lajang.
Dalam contoh lain, Herodotus menggambarkan tes keperawanan lain dalam festival Ibyia (Tunisia modern) yang melibatkan beberapa kereta kuda yang dikendarai gadis-gadis muda yang dibagi menjadi dua kelompok yang dipersenjatai dengan tongkat dan batu.
Para wanita ini akan bertarung sampai mati.
Mereka yang meninggal dianggap 'bukan perawan' dan mereka yang selamat akan menjadi 'perawan' dan siap menikah.
Menurut Hanne Blank, adalah hal biasa bagi seorang ayah untuk membunuh putrinya jika dia ketahuan kehilangan keperawanannya sebelum menikah.
Sebab di Yunani kuno, peran seorang putri adalah nilainya dalam perkawinan.
Pernikahan adalah kontrak yang mengikat secara hukum antara dua keluarga untuk mendapatkan kekuasaan, tanah, reputasi, dan perdamaian.
Nilai total seorang wanita bergantung pada keperawanannya.
Dalam contoh lain, kode hukum Kreta dari 450 SM, menyatakan nilai keperawanan pada wanita sebagai komoditas yang sangat penting untuk pernikahan.
Hukuman Kreta untuk perkosaan perawan jauh lebih berat daripada perkosaan non-perawan.
Undang-undang Kreta tentang pemerkosaan pada dasarnya memaksa pemerkosa untuk membayar ganti rugi kepada suami, ayah, atau pemilik budak, menyampaikan perspektif bahwa seorang perempuan dipandang sebagai properti belaka.
Pemeriksaan keperawanan dengan dokter
Dokter kuno menggunakan instrumen seperti spekulum, alat pelebaran paruh bebek, untuk memeriksa kesehatan ginekologis wanita.
Namun, ketika kepercayaan, ketakutan menghancurkan selaput dara dengan alat seperti itu menjadi kekhawatiran yang signifikan.
Karena takut dipandang sebagai penyimpangan seksual, banyak dokter kandungan, merancang metode alternatif untuk memeriksa organ seksual dengan memasukkan jari-jari mereka ke dalam dubur wanita daripada vagina untuk memeriksa rahim dan ovarium.
Metode ini dianggap lebih klinis dan lebih aman dalam menjaga selaput dara.
Tes keperawanan setelah menikah di Roma
Orang-orang Gipsi Roma Spanyol percaya pada tes keperawanan yang disebut Gitanos.
Ini adalah keyakinan bahwa kelenjar seperti anggur ada di vagina dan mengandung cairan kekuningan yang disebut Uva, atau jus.
Ketika kelenjar ini ditekan, cairan dikeluarkan, menghasilkan keperawanan seorang wanita. Proses ini disebut hilangnya Honra, kehormatan.
Tes ini dilakukan hanya dalam pemetikan seremonial seorang pengantin wanita.
Anggota dari kedua sisi keluarga akan datang untuk menyaksikan hubungan badan pertama untuk melihat darah dan noda Honra di seprai.
Tindakan ini dianggap sebagai kesempatan untuk saksi, kebanggaan, dan perayaan.
Artikel ini telah tayag di Intisari Online dengan judul, Uji Keperawanan 'Gila' Bagi Gadis-gadis di Zaman Kuno, Nyawa Taruhannya! Kematian Juga Menanti Mereka yang 'Terbukti' Tak Perawan!
(*)
Source | : | Intisari Online |
Penulis | : | None |
Editor | : | Fidiah Nuzul Aini |