Grid.ID - Pemerintah tengah menyiapkan draf rancangan undang-undang dan naskah akademik Sistem Pendidikan Nasional.
Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi masih terus menggali dan menyinkronkan berbagai masukan dari kementerian dan lembaga, serta lebih dari 60 lembaga/organisasi masyarakat.
Perubahan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) yang telah berumur hampir dua dekade bertujuan membentuk sistem pendidikan nasional yang lebih adaptif dan fleksibel sehingga mampu menyiapkan masa depan generasi penerus bangsa.
Dengan perubahan ini, payung hukum untuk sistem pendidikan nasional diharapkan tidak lagi terkunci oleh hal-hal teknis yang seharusnya diatur oleh peraturan di bawahnya. Sehingga, pendidikan di Indonesia lebih mudah dan cepat untuk menyesuaikan dengan perubahan serta kebutuhan di tingkat implementasi.
Kepala Badan Standar, Kurikulum, dan Asesmen Pendidikan, Kemendikbudristek, Anindito Aditomo mengatakan, dalam 20 tahun terakhir sudah terjadi begitu banyak perubahan.
Bahkan, di era teknologi digital yang ditambah dengan pandemi Covid-19, perubahan semakin cepat terjadi, termasuk dalam dunia pendidikan.
”Disrupsi pendidikan dalam dua tahun ini saja begitu cepat terjadi. Ada perubahan dalam pembelajaran, asesmen, hingga kurikulum.”
“Jadi, sistem pendidikan nasional harus banyak dibenahi agar kesempatan belajar anak-anak bangsa semakin relevan dan bermakna,” kata Anindito dalam webinar Kompas Talks bertajuk ”RUU Sisdiknas Mencerdaskan Bangsa melalui Inovasi Pendidikan” yang digelar harian Kompas bekerja sama dengan Kemendikbudristek, Kamis (21/4/2022).
Tata Kelola Pendidikan
Menurut Anindito, pendidikan memerlukan sistem yang dapat membekali anak-anak untuk menghadapi masa depan.
Selain itu, tata kelola pendidikan juga perlu lebih fleksibel dan adaptif.
Dengan mengakomodasi tiga undang-undang, yakni UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas, UU No 14/2005 tentang Guru dan Dosen, dan UU No 12/2012 tentang Pendidikan Tinggi, kebijakan pendidikan yang dibutuhkan dapat lebih dinamis karena pengaturan teknis dan kontekstual bisa cepat dilakukan sesuai dengan kebutuhan tiap daerah atau satuan pendidikan.
Anindito mencontohkan, fleksibilitas dalam penamaan nomenklatur sekolah tidak disebutkan dalam RUU Sisdiknas, tapi pada peraturan di bawahnya. Dengan demikian, ada relaksasi jika ada perubahan nama.
Sebagai contoh, sekolah menengah kejuruan (SMK) jika ingin diubah menjadi sekolah menengah vokasi bisa lebih mudah sesuai kebutuhan perkembangan.
Demikian pula tidak adanya penyebutan madrasah, bukan berarti menghapus mandrasah, tetapi hal tersebut diatur di peraturan yang lebih teknis.
Ketua Umum Lembaga Pendidikan Ma’arif Nahdlatul Ulama Muhammad Ali Ramdhani menyambut semangat kemerdekaan dan fleksibilitas dalam RUU Sisdiknas.
Namun, menurut dia, semangat ini perlu diwaspadai karena bisa membuka kerentanan baru terhadap pendidikan yang tidak sejalan dengan nilai-nilai Pancasila, berlawanan dengan prinsip beragama yang moderat, serta memberi peluang kepada kelompok tertentu untuk membangun kekuatan baru bagi tumbuh suburnya radikalisme dan ekstremisme.
Ramdhani menyoroti pendidikan nasional perlu menguatkan kesejahteraan siswa.
Penguatan fundamental untuk kesejahteraan individual dan sosial ini bisa dengan memperkuat literasi keagamaan agar peserta didik mampu mengatasi tekanan hidup dalam perkembangan dan perubahan yang cepat.
”Well-being ini harus jadi bagian kokoh dalam pendidikan, salah satunya dengan religious literacy,” kata Ramdhani.
Penyesuaian Cepat
Pakar pendidikan Universitas Terbuka, Tian Belawati, mengatakan, pada era digital ini perubahan berlangsung cepat sehingga butuh penyesuaian dalam waktu singkat.
Perkembangan lanskap dunia kerja yang berubah, termasuk kebutuhan literasi lain dan keterampilan baru, untuk mendukung anak didik menjadi pembelajar sepanjang hayat atau pembelajar mandiri.
Menurut Tian, pandemi Covid-19 jadi momentum untuk membuka sistem pendidikan nasional menuju perubahan yang lebih baik.
Standar nasional pendidikan tinggi yang masih rigid, misalnya, perlu dibuat fleksibel agar tidak menghambat inovasi dan lebih responsif terhadap perkembangan sistem pembelajaran.
Tian menyebutkan, sistem pendidikan yang multimoda dan multijalur harus semakin bisa diterima dan dipilih tanpa hambatan dari aturan yang rigid atau akreditasi yang sulit.
Demikian pula, sistem pembelajaran yang luring, daring, atau campuran, tidak lagi dikotak-kotakkan karena aturan, tetapi ada kebebasan dan keleluasaan dari setiap institusi untuk memilih sesuai tujuan pendidikan.
Selain itu, jalur pendidikan harus bisa terintegrasi dan perpindahan jalur bisa diatur dengan syarat yang tidak rigid.
”Untuk poin-poin penting dan mendasar harus dikawal betul agar eksplisit di dalam RUU Sisdiknas.”
“Di perguruan tinggi, untuk otonomi dan diferensiasi misi Tridarma Pendidikan harus jelas supaya memberi ruang untuk praksis pendidikan yang relevan dengan masa depan,” kata Tian.
Di era saat ini, penting juga memastikan akses digital bagi setiap orang selain akses pendidikan.
Sebab, dengan akses digital yang berkualitas, peluang untuk mendapatkan ilmu pengetahuan tanpa batas dan berkualitas terbuka lebar di dunia maya.
Hal ini juga membuka kesempatan bagi siapa pun untuk bisa belajar dengan lebih terjangkau.
Sementara itu, Ketua Umum Ikatan Guru Indonesia (IGI) Danang Hidayatullah menekankan prinsip pendidikan nasional yang harus tetap sejalan dengan UUD dan Pancasila.
Intervensi negara harus ada untuk memastikan sistem pendidikan nasional terwujud dan tiap warga negara mendapatkan pendidikan berkualitas.
Sebagai salah satu organisasi profesi guru, IGI mendorong komitmen pemerintah untuk meningkatkan kualitas dan profesionalisme guru.
Karena itu, pemerintah diharapkan bisa menjamin guru mendapatkan kesejahteraan dengan mengatur upah minimal guru.
Demikian pula, keterlibatan organisasi profesi guru dalam peningkatan kualitas guru perlu semakin diberi ruang, berkolaborasi dengan pemerintah pusat dan daerah.
Pakar Hukum Universitas Airlangga, Hadi Subhan, menambahkan, keterlibatan publik sejak dari perencanaan penyusunan RUU hingga ditetapkan sebagai undang-undang penting supaya produk hukum yang memayungi Sisdiknas ini bukan hanya mengutamakan legalitas, melainkan legitimasinya juga diterima oleh masyarakat.
Secara proses dan substansi, penyusunan RUU Sisdiknas dinilai sudah memenuhi syarat untuk merevisi UU Sisdiknas yang ada, dengan mengintegrasikan tiga undang-undang.
(Artikel ini telah tayang di Kompas.Id (22/4/2022) di Tulis oleh ELN)
(*)
Viral Rumah Dijual Rp 27 Juta di Yogyakarta, Kondisinya Horor dan Bikin Merinding, Akan Dibeli Joko Anwar?
Penulis | : | Grid |
Editor | : | Okki Margaretha |