Laporan Wartawan Grid.ID, Rissa Indrasty
Grid.ID - Anak-anak yang masih berusia di bawah umur seharusnya menikmati masa-masa bermain dan belajar.
Namun berbeda dengan salah satu anak perempuan berusia 10 tahun asal Iran bernama Fatima.
Fatima menjadi viral lantaran dipaksa menikah dengan sepupunya sendiri yang berusia 22 tahun.
Dalam video, seorang mullah mengatakan si sepupu bakal membayar mahar tradisional berupa 14 koin emas dan 50 juta Tomans yang notabene mata uang lokal.
Dilaporkan Daily Mirror via Gryd Hype pekan lalu, jumlah mahar yang dibayarkan kepada bocah 10 tahun itu setara dengan 7.200 poundsterling, atau Rp 125,6 juta.
"Fatima, apakah engkau bersedia menikah dengan Milad Jashani?" tanya sebuah suara yang diketahui adalah Mullah. "Dengan izin orangtua saya, ya," jawab Fatima.
Mullah kemudian bertanya pertanyaan yang sama kepada Jashani, yang kemudian dijawab ya. Dengan demikian, mereka pun resmi menjadi suami istri.
Setelah kisahnya viral, publik pun menyuarakan kemarahan, dengan otoritas setempat memutuskan membatalkan pernikahan dari pasangan beda 12 tahun.
Sejak pembatalan pernikahan itu, keluarga dari Fatima dan Jashani kemudian menyatakan bahwa mereka bakal mencoba menikahkan mereka kembali.
Di Iran, seorang gadis berusia 13 tahun bisa menikah atas izin orang tua.
Di tengah masyarakat modern dengan pemikiran terbukanya saat ini, ternyata masih banyak terjadi pernikahan yang datang dari paksaan orang lain dan melibatkan anak di bawah umur.
Namun, apa saja sebenarnya kerugian yang akan didapatkan dari pernikahan yang dilakukan saat usia masih terlalu dini seperti pada kasus Milad dan Fatima itu?
Dikutip Grid.ID melalui Kompas.com, Jumat (20/5/2022), dari Huffington Post, disebutkan pernikahan dini dapat memperbesar kemungkinan seseorang mengalami sakit hati, atau perceraian saat usia perkawinan masih begitu muda.
Usia-usia remaja, belasan atau awal 20-an disebut masih terlalu dini untuk melangsungkan sebuah pernikahan. Hal itu dikarenakan, mereka belum matang secara emosi, minim pengalaman, dan belum ‘memuaskan’ diri sendiri.
Memuaskan diri sendiri dalam hal ini mencapai keinginan-keinginan yang ada, mengeksplorasi dunia kerja, memiliki lingkup pertemanan yang luas, pengalaman menakjubkan, melakukan hal-hal yang disenangi, dan sebagainya.
Padahal, hal-hal itu bisa menjadi wahana bagi seseorang untuk berproses hingga akhirnya ia menemukan jati dirinya sebagai seorang individu.
Satu hal yang pasti adalah pernikahan dini membuat mereka kehilangan kesempatan untuk menjadi sosok yang mereka inginkan di masa depan.
Katakanlah, jika pernikahan dini ini dilakukan atas dasar cinta, tidak ada yang bisa menjamin di hari nanti ia akan menemukan arti cinta yang lebih besar daripada yang ia rasakan saat ini.
Ya, pengalaman demi pengalaman menjalin hubungan dengan lawan jenis dapat memberikan pelajaran berharga bagi seseorang.
Dari kegagalan-kegagalan yang pernah dialami, ia dapat memetik pelajaran penting bagi relasinya di masa yang akan datang.
Apalagi, kondisi emosi seseorang saat masih muda masih sangat mungkin berubah ketika ia dewasa. Masa remaja dan masa muda identik dengan masa pencarian jati diri.
Hal-hal menyenangkan di masa lalu bisa jadi tidak lagi menyenangkan di masa depan. Hal itu karena perubahan yang terjadi pada diri seseorang yang secara psikologis memang belum matang dan siap untuk sebuah pernikahan.
Maka dari itu, dibutuhkan keseriusan dari semua pihak, baik orangtua, lingkungan, sekolah, termasuk juga pemerintah untuk memberikan batasan yang tegas tentang kapan seseorang pantas dan sudah siap untuk dinikahkan.
(*)
Source | : | Kompas.com,Grid Hype |
Penulis | : | Rissa Indrasty |
Editor | : | Nesiana |