Grid.id - Yogyakarta ibarat kawah candradimuka yang mematangkan elan kreatif para seniman yang bermukim di dalamnya.
Ya, ini bukanlah ungkapan yang berlebihan. Dalam dunia seni rupa misalnya, linimasa sejarah sejak 1940an hingga era kontemporer hari ini telah menunjukkan betapa Yogya selalu menjadi ruang pertemuan, persemaian, bahkan pula perdebatan gagasan-gagasan kesenian yang beragam.
Setiap seniman seakan-akan dapat dengan luwes menumpahkan kreativitas mereka dan Yogya, sebuah kota dengan kultur sosial dan budayanya yang khas ini, pelan-pelan membentuknya.
Begitulah, kita dapat dengan mudah menemukan aneka karya rupa yang masing-masing menawarkan ide, konsep, hingga warna pencariannya masing-masing—dan semuanya diciptakan oleh seniman berbagai latar, baik usia, tempaan pendidikan, status sosial, serta muasal tanah kelahirannya.
Ciri lain yang barangkali turut mempengaruhi berseminya kesenian di Yogyakarta ialah nuansa kebersamaannya.
Tanpa bermaksud romantik apalagi nostalgik, cobalah sesekali meluangkan waktu menyelami suasana kesenian di kota ini, maka saya percaya bahwa ungkapan itu pun tidak mengada-ada sifatnya.
Meskipun di Yogyakarta tersebar berbagai galeri dan komunitas seni, karakteristik kebersamaan lewat saling srawung itu tak kunjung lekang sehingga siapapun boleh-boleh saja ‘melompat’ dari satu ruang budaya ke ruang budaya lain buat menyimak ragam karya yang dihadirkan serta membincangkannya secara gayeng.
Dalam percakapan-percakapan itu mengemuka pula kritik, yang barangkali terasa nyelekit, namun agaknya ini tidak menyurutkan elan-elan berkesenian. Bukankah sekali lagi, Yogyakarta adalah kawah candradimuka, yang dengan caranya sendiri menempa kreator yang hidup di dalamnya?
Kebersamaan itulah yang terasa dalam pameran kelompok An.de.fe.ni.si+a di Bentara Budaya Yogyakarta kali ini. Menyimak para perupa yang tergabung, yakni Agus TBR, Budi Ubrux, Budyono Kampret, Edopop, Harmanto, Herly Gaya, Irenius Bongky, Irwanto Lentho, Joko Sulistiono, M AidiYupri, Mahdi Abdullah, Mayek Prayitno, Moelyono, Rismanto Kendilmas, Sigit Santoso, dan Syahrizal Pahlevi, segera kita menyadari betapa mereka ingin mempertemukan bentuk-bentuk ekspresi kesenian yang berbeda.
Tidak masalah apakah yang terangkum ialah perupa yang telah mapan atau yang masih meneguhkan eksistensinya, termasuk yang usianya belia maupun yang merentang panjang jalan kesenimanannya—semuanya hadir sama rata dan sama rasa tanpa jarak.
Esensi kebersamaan dan saling srawung itulah yang selama ini menjadi napas semangat Bentara Budaya.
Selama empat puluh tahun kehadirannya, tak terelakkan betapa lembaga ini erat kaitannya dengan rasa guyub-gayengnya para seniman yang berkecimpung di dalamnya.
Penulis | : | Grid |
Editor | : | Irene Cynthia |