Laporan Wartawan Grid.ID, Novia
Grid.ID - Bukan hal baru jika, malam 1 Suro kerap dianggap sakral.
Apalagi, malam 1 Suro selalu diperingati dengan beragam tradisi di berbagai daerah.
Ya, tradisi malam 1 Suro ini masih terus dilestarikan terutama di kota Solo dan Yogyakarta.
Istilah Suro sendiri merupakan penyebutan yang berasal dari bahasa Arab 'Asyura yang berarti kesepuluh.
Dianggap sebagai malam sakral, Malam 1 Suro kemudian menjadi bulan permulaan hitungan dalam takwim Jawa.
Selain itu, Suro juga dipahami oleh masyarakat Islam sebagai bulan Muharram.
Dikutip dari Tribunnews.com, Jumat (29/7/2022), bagi umat Islam suro lebih dikenal dan disebut sebagai bulan Muharram atau tahun baru bagi umat muslim.
Bulan Muharram dianggap sebagai salah satu bulan suci, di mana Rasulullah dan umat Islam diperintahkan untuk berintrospeksi diri (muhasabah), baik untuk tahun yang telah lewat maupun tahun yang akan datang.
Biasanya malam 1 Suro akan digunakan umat muslim untuk ritual mujahadah, doa, bersedekah dalam tradisi Jawa termasuk selamatan, kenduri, bertapa, dan sejenisnya.
Tradisi ini memiliki akar tegas dalam tradisi keberagaman Islam yang bercorak Jawa, dikutip dari Uin Malang.
Kemudian ditambahkan dari Kompas TV, malam 1 Suro di wilayah Jawa identik dengan sebuah perayaan berupa ritual tradisi iring-iringan masyarakat atau kirab, kenduri, hingga macapatan.
Diketahui, pada tahun 2022, malam 1 Suro jatuh pada Jumat, 29 Juli 2022.
Menilik sejarah yang terjadi pada malam 1 Suro, masyarakat Jawa memiliki banyak pandangan.
Salah satunya, dianggap keramat terlebih bila jatuh pada Jumat Legi.
Bahkan, sebagian masyarakat meyakini pada malam 1 Suro dilarang untuk ke mana-mana kecuali untuk berdoa ataupun melakukan ibadah lain.
Dikutip kompas TV dari laman petabudaya.belajar.kemdikbud.go.id, begini sejarah malam 1 Suro beserta tradisinya.
Menurut, kalender Jawa yang mengacu pada penanggalan hijriah atau kalender Islam, tradisi malam 1 Suro diciptakan oleh Raja Mataram Sultan Agung Hanyokrokusumo pertama kali sekitar tahun 1940.
Saat itu, Sultan Agung menginginkan adanya persatuan rakyat untuk menggempur Belanda di Batavia, termasuk menyatukan Pulau Jawa.
Raja Mataram Sultan Agung Hanyokrokusumo ingin rakyatnya tidak terbelah yang disebabkan keyakinan agama.
Demi menyatukan kelompok santri dan abangan, kemudian setiap hari Jumat Legi, dilakukan laporan pemerintahan setempat.
Tak hanya laporan, seluruh yang berkumpul pun melakukan pengajian bersama para penghulu kabupaten, melakukan ziarah kubur, dan haul ke makam Ngampel dan Giri.
Sampai saat ini, daerah di Jawa yang masih melestarikan tradisi malam 1 Suro adalah kota Solo dan Yogyakarta.
1. Tradisi di Yogyakarta
Di Yogyakarta, perayaan malam 1 Suro biasanya selalu identik dengan membawa keris, gunungan, dan benda pusaka sebagai bagian dari iring-iringan kirab.
Selain itu, ada tradisi mubeng beteng di Yogyakarta.
Dalam acara itu, para abdi dalem dan masyarakat umum melakukan tapa bisu atau mengunci mulut dengan tidak mengeluarkan kata-kata selama ritual.
Hal tersebut dimaknai sebagai upacara untuk mawas diri dan introspeksi atas apa yang dilakoni selama setahun ke belakang guna menghadapi tahun baru di esok pagi.
2. Perayaan Malam 1 Suro di Solo
Berbeda dengan di Yogyakarta, perayaan malam 1 Suro di Solo identik dengan melakukan kirab kebo (kerbau) bule yang dianggap keramat oleh masyarakat setempat.
Kerbau yang mengikuti kirab bukan kerbau biasa. Melainkan, Kebo Bule Kyai Slamet.
Dalam buku Babad Solo karya Raden Mas (RM) Said, leluhur kebo bule adalah hewan klangenan atau kesayangan Paku Buwono II, sejak istananya masih di Kartasura, sekitar 10 kilometer arah barat keraton yang sekarang.
Menurut seorang pujangga kenamaan Keraton Kasunanan Surakarta, Yosodipuro, leluhur kerbau dengan warna kulit yang khas (putih agak kemerah-merahan) itu, merupakan hadiah dari Kyai Hasan Beshari Tegalsari Ponorogo kepada Paku Buwono II.
Saat itu, kebo bule diperuntukkan sebagai cucuk lampah (pengawal) dari sebuah pusaka keraton yang bernama Kyai Slamet saat beliau pulang dari mengungsi di Pondok Tegalsari ketika terjadi pemberontakan pecinan yang membakar Istana Kartasura.
(*)
Source | : | Kompas.com,Tribunnews.com |
Penulis | : | Novia |
Editor | : | Nesiana |