Seberapa jauh definisi “terlampau cerdas” itu yang kita sepakati? Apa saja batasan-batasan dalam pengembangan AI yang harus kita waspadai? Apa alasan etis normatif yang membuat kita mampu menahan diri dari “bermain peran sebagai Tuhan”?
Baca Juga: Nikita Mirzani Dilaporkan oleh Shandy Purnamasari Atas Dugaan Pencemaran Nama Baik!
Ketika dahulu manusia sukses melakukan cloning pada hewan (domba bernama Dolly, tahun 1997), maka boleh dibilang dalam dimensi tertentu manusia telah menjadi nyaris sejajar dengan Sang Pencipta dalam tataran biologis.
Lalu kini, melalui AI atau kecerdasan buatan, manusia pun mensejajarkan diri dengan Sang Pencipta dalam hal kognitif, yang menjadi inti sari dari semua kehidupan.
Jadi, mampukah kita tetap “menjadi manusia” dalam era AI di masa
depan? Dalam hal ini, kebijaksanaan kitalah yang paling dibutuhkan, dan mungkin kebijaksanaan ini menjadi salah satu sifat manusia yang paling sulit untuk diimplementasikan ke dalam kecerdasan buatan.
Penjelasan selengkapnya bisa di dapatkan dalam buku “Life 3.0 Menjadi Manusia Pada Era Kecerdasan Buatan” Prof. Max Tegmark di toko buku Gramedia atau link ini.
(*)
5 Ide BBQ untuk Rayakan Malam Tahun Baru 2025, Bikin Pergantian Tahunmu Asyik dan Penuh Santapan Lezat yuk!
Penulis | : | Grid |
Editor | : | Winda Lola Pramuditta |