Grid.ID – Sampai saat ini, Tuberculosis (TBC) masih menjadi perhatian khusus di Indonesia. Menurut laporan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) yang dirilis pada 2021, Indonesia merupakan negara dengan jumlah orang dengan TBC terbanyak ke-3 di dunia setelah India dan China.
Laporan tersebut juga mengungkapkan, terdapat 824.000 kasus TBC baru per tahun di Indonesia. Angka kematian akibat TBC pun mencapai 93.000 kasus atau setara dengan 11 kematian per jam. Dari angka tersebut, baru 67 persen orang dengan TBC yang memperoleh diagnosis secara resmi dan berobat.
Penanganan TBC di Indonesia pun semakin sulit karena pemahaman masyarakat tentang TBC yang belum sepenuhnya merata.
Berdasarkan informasi dari Badan Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Amerika Serikat (CDC), TBC ditandai dengan batuk berdahak selama 2 minggu berturut-turut.
Gejala utama tersebut biasanya akan diikuti batuk berdahak disertai darah, sesak napas, penurunan nafsu makan, penurunan berat badan, malaise atau tidak enak badan, berkeringat pada malam hari walau tidak melakukan kegiatan fisik berat, serta demam yang hilang dan timbul selama lebih dari 1 bulan.
Selain itu, penanganan TBC juga sulit karena banyaknya disinformasi dan mitos-mitos yang mengakar di masyarakat seputar penyakit tersebut.
Disinformasi dan mitos yang berkembang membuat orang dengan TBC yang sadar mengalami gejala TBC enggan melakukan pemeriksaan lebih lanjut karena takut dijauhi dan dianggap sebagai aib.
Lalu, apa saja mitos dan disinformasi mengenai TBC tersebut? Berikut adalah daftarnya.
Salah satu mitos yang masih beredar di tengah masyarakat adalah TBC merupakan penyakit keturunan. Mitos ini timbul karena masalah kesehatan tersebut kerap ditemukan pada klaster rumah atau keluarga.
Faktanya, beberapa orang yang tinggal dalam satu rumah dapat mengidap penyakit ini karena saling menularkan, bukan karena faktor genetik.
Myctobacterium tubercolosis yang menjadi penyebab utama TBC dapat menular melalui droplet yang dilepaskan orang dengan TBC saat batuk atau bersin. Anggota keluarga lain dapat tertular dan merasakan gejala ketika daya tahan tubuhnya lemah.
Oleh sebab itu, penting untuk selalu menjaga kesehatan dan kebersihan diri. Jika kamu menemukan seseorang dalam lingkungan keluarga mengidap TBC, lakukan perlindungan diri dengan selalu menggunakan masker.
Selain penyakit keturunan, mitos selanjutnya soal TBC adalah penyakit ini tidak bisa disembuhkan. Padahal, sekalipun merupakan penyakit kronis, orang dengan TBC tetap bisa sembuh total. Namun, orang dengan TBC harus rajin kontrol ke dokter dan tidak berhenti minum obat TBC.
Mengutip laman WebMD, pengobatan pada orang dengan TBC umumnya dilakukan selama minimal 6 bulan dengan konsumsi obat antibakteri. Hanya saja, jenis dan dosisnya diberikan sesuai skala infeksi.
Pada kasus lebih berat, yakni orang dengan TBC yang mengalami resistensi obat (TB RO), penanganan yang dilakukan dokter otomatis berbeda. Dosis obat untuk orang dengan TB RO lebih tinggi dan durasi pengobatannya lebih lama. Bahkan, lama pengobatan bisa mencapai 30 bulan.
Kebanyakan infeksi TBC memang terjadi pada organ paru-paru. Faktanya, TBC dapat berkembang dan menyebar ke organ tubuh lain melalui aliran darah apabila tidak ditangani dengan baik. Jenis tuberkulosis lain yang perlu diwaspadai adalah tuberkulosis tulang, kelenjar getah benih, dan usus.
Bahkan, Myctobacterium tubercolosis dapat menyerang jantung dan otak sehingga orang dengan TBC mengalami meningitis. Risiko komplikasi yang mungkin dialami saat bakteri penyebab TBC menyerang otak kejang, kehilangan pendengaran, gangguan penglihatan, kerusakan otak, stroke, dan kematian.
Status sosial menjadi salah satu faktor yang sering dikaitkan dengan penyakit ini. Nyatanya, TBC tidak memandang bulu dan dapat menyerang siapa saja, baik orang yang mampu secara ekonomi maupun kurang mampu. Selain itu, risiko mengidap TBC juga tidak terkait dengan tingkat pendidikan.
TBC tidak hanya rentan menyerang lansia, tetapi juga orang di usia produktif. Pada kenyataannya, mayoritas orang dengan TBC justru berasal dari kelompok usia produktif. Fakta tersebut dibuktikan dalam data Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Republik Indonesia pada 2020.
Data tersebut menunjukkan, sebanyak 17,3 persen orang dengan TBC berusia 45-54 tahun, lalu 16,8 persen berusia 25-34 tahun, dan 16,7 persen berusia 15-24 tahun. Sementara, orang dengan TBC yang berasal dari kelompok lansia, sekitar 9 persen saja.
Tingkatkan edukasi terkait TBC
Fakta seputar TBC penting dipahami secara benar oleh masyarakat agar kepedulian terhadap penyakit ini dapat semakin ditingkatkan. Dengan demikian, pencegahan dan penanganannya lebih mudah dilakukan.
Untuk memudahkan masyarakat dalam memahami lebih jauh seputar TBC, Stop TB Partnership Indonesia (STPI) bersama Kompas.com menghadirkan Visual Interaktif Kompas (VIK).
Melalui VIK, masyarakat dapat mengetahui informasi lengkap seputar sejarah, fakta, dan perkembangan TBC di Indonesia yang dikemas dalam tampilan dan ilustrasi yang mudah dipahami. Anda dapat mengakses VIK seputar TBC melalui tautan berikut ini.
Selain itu, STPI bersama Kemenkes RI mengadakan kampanye digital #141CekTBC dengan tagline “14 Hari Batuk Tak Reda? 1 Solusi, Cek Dokter Segera!”.
Lewat kampanye tersebut, STPI menghadirkan kemudahan akses informasi seputar TBC, mulai dari gejala, penanganan, hingga rekomendasi layanan kesehatan. Seluruh informasi tersebut dapat diakses melalui situs web https://141.stoptbindonesia.org.
Masyarakat juga bisa mengajukan pertanyaan melalui fitur chat otomatis yang tersedia pada situs web tersebut dan memperoleh jawaban langsung secara real-time. Layanan #141CekTBC juga dapat diakses lewat WhatsApp melalui nomor +628119961141.
Untuk informasi lebih lanjut mengenai kampanye #141CekTBC, Kamu dapat mengunjungi situs web https://141.stoptbindonesia.org, https://tbindonesia.or.id, dan https://stoptbindonesia.org. Atau melalui media sosial Twitter @tbc.indonesia, serta Facebook dan YouTube Stop TB Partnership Indonesia.
Penulis | : | Nana Triana |
Editor | : | Sheila Respati |