Grid.ID - Pembentukan peradaban dan kemanusiaan selalu ada dalam tantangan di tengah pesatnya kemajuan teknologi.
Untuk itu, KG Media menghadirkan kembali ruang diskusi yang memberi kesempatan kepada para pemikir dan pemilik gagasan untuk mengutarakan ide-ide dan gagasan mereka terkait isu teknologi terkini.
Karlina Supeli, filsuf dan astronom perempuan pertama, menguraikan gagasannya dan mengajak audiens berpikir secara kritis serta berimajinasi secara kreatif tentang sains dan teknologi, peradaban dan kebudayaan, manusia dan kemanusiaan, pendidikan humanitas dan humanisme, serta gagasan kemajuan.
Apa yang sungguh distingtif pada Karlina Supelli adalah kecerdasan intelektualnya dan imajinasi kreatifnya mengeksplorasi gagasan-gagasan besar ini dalam dua tradisi sekaligus: tradisi Barat dan tradisi Nusantara.
Tawaran gagasan Karlina di GagasRI mendapat respons dari panelis yaitu Rektor Universitas Islam Indonesi Fathul Wahid dan Dosen Fakultas Teknik Unika Atma Jaya dan Ketua Indonesia Artificial Intelligence Society (IAIS) Lukas.
Berlangsung selama 45 menit, Gagas RI episode ke-2 ini menggugah kesadaran audiens bahwa teknologi mengandung paradoks. Paradoks teknologi bukan berarti melenyapkan salah satu, dengan dan tanpa teknologi, tetapi diartikan sebagai minus malum – formulasi yang memiliki efek negatif paling kecil – terpaksa menjadi pilihan.
Tak heran, ajakan untuk bisa menguasai teknologi terus digencarkan. Sebab, janji umum tentang Industri 4.0 adalah hidup akan lebih baik dan lebih mudah bagi mereka yang terlibat. Meski begitu, risiko kesenjangan akan semakin lebar.
Penguasaan teknologi perlu diiringi kapabilitas diri dalam menggunakannya. Berdasarkan data, belakangan ini negara-negara maju giat mengarahkan kebijakan pendidikan untuk melumerkan sekat-sekat di antara rumpun ilmu. Arts kini telah ditambahkan ke dalam pendidikan Science, Technology, Engineering, and Mathematics (STEAM).
STEAM diyakini bisa menjembatani pendidikan profesi dengan pendidikan humanistik.
Sayangnya, di Indonesia bergerak arus sebaliknya. Akhir-akhir ini malah ada anggapan keliru seolah-olah yang serba-teknologi dapat menyelesaikan dengan jitu permasalahan pendidikan dan kemanusiaan. Masa depan seakan-akan hanya perkara teknologi digital.
Pendidikan seakan dinomorduakan. Bahkan, ilmu humaniora (seni-budaya) seringkali diabaikan.
Padahal, ilmu dan pendidikan merupakan pintu masuk ke peradaban yang penuh keindahan.
Penulis | : | Grid. |
Editor | : | Okki Margaretha |