Grid.ID - Selama ini ktia mengetahui jika ada 2 kelompok Etnis Tionghoa di Indonesia, Yakni Totok dan Peranakan.
Totok merupakan kaum migran (serta keturunannya) yang terus mempertahankan bahasa dan budaya dari tanah leluhur mereka.
Sedangkan pernakan , adalah mereka yang sudah berasimilasi dengan bahasa dan budaya lokal setempat.
“Pembedaan demikian tidak sepenuhnya keliru, tetapi bermasalah dan tidak memuaskan,” tulis Ariel Heryanto, sosiolog dari Monash University.
(Baca Juga :Deteksi Kanker Serviks Dengan 7 Tanda Peringatan Berikut ini)
Ariel berpendapat, warga Tionghoa di Jawa jauh lebih majemuk ketimbang pembedaan dua kelompok tadi.
Dia bahkan membedakan menjadi lima kelompok berlainan. Mereka dibedakan atas kiblat dan selera budaya.
Setiap kelompok bisa mempunyai lebih dari satu corak budaya, tetapi masing-masing punya satu corak paling dominan.
Pertama, warga Tionghoa di Jawa yang sangat berbaur dengan budaya dan masyarakat setempat. Bahasa dan adat Jawa menjadi bagian utama dalam kehidupan sehari-hari.
Kedua, di kota-kota Jawa dan hingga tahun 1940an, sangat menonjol sosok warga Tionghoa yang hidupnya berkiblat ke Eropa, khususnya Belanda. Sebagian berhasil menjadi sangat ke-eropa-eropa-an.
(Baca Juga :Bikin Berpikir Ulang Untuk Beli, ini 4 Kekurangan Ponsel Xiaomi)
Ketiga, warga Tionghoa yang memilih berkiblat pada bahasa, budaya, politik atau sejarah Republik Rakyat Tiongkok.
Orang-orang ini lazim disebut Totok.Tetapi tidak sedikit warga non-Totok dalam kelompok peranakan jenis ketiga ini.
Keempat, warga etnis Tionghoa yang secara individual maupun kelompok memilih Indonesia sebagai kiblat utama kehidupan dan jatidiri mereka.
Nasionalisme mereka menggebu, bukan semata-mata karena propaganda resmi dari pemerintah, tetapi pilihan sikap politik dan moral dalam kehidupan sehari-hari.
(Baca Juga :Tak Biasa, Ada Fasilitas Perpustakaan di Dapur Milik Baim Wong)
Kelima, warga Tionghoa yang mempunyai corak bahasa dan budaya yang khas, hasil percampuran dari semua tanpa menjadi salah satu darinya.
Mereka tidak terasimilasi menjadi “pribumi” lokal (misalnya Jawa); tidak hidup berkiblat ke Eropa; tidak peduli dengan leluhur Tiongkok; tidak juga bersemangat nasionalis lebih dari warga biasa.
“Mungkin kelompok kelima ini yang paling cocok disebut ‘peranakan’,” duga Ariel. Mereka adalah sosok sosial yang sangat campur-aduk dengan sebuah sosok identitas yang khas dalam bidang berbusana, masak-memasak, bahasa, perabot, dan tata-gaul.
(Baca Juga :Dokter ini Ungkap Jika Michael Jackson Pernah 'Dikebiri' Oleh Ayahnya)
Jumlah Peranakan jenis kelima ini relatif besar pada paruh pertama abad 20. Namun kini mereka nyaris punah. Yang menarik, kepunahan budaya Peranakan Tionghoa dalam setengah abad terakhir, terjadi bersamaan dengan semakin gencarnya hibridisasi identitas pada lingkup global.
Semua orang di mana pun semakin menjadi peranakan, dalam pengertian berselera budaya gado-gado, campur-aduk, blasteran atau hibrid.
Begitu cuplikan ulasan Ariel Heryanto yang ditulisnya dalam buku Peranakan Tionghoa Indonesia, Sebuah Perjalanan Budaya yang diterbitkan Komunitas Lintas-Budaya Indonesia dan Intisari.
Buku ini adalah edisi ketiga setelah sebelumnya pernah terbit edisi pertama pada 2009 dan kedua (berbahasa Inggris) pada 2012.
(Baca Juga :Kelaparan Dalam Gua, Remaja Tulis Surat Berisi Makanan yang Diinginkan)
Buku ketiga yang terbit tahun 2018 ini, merupakan edisi yang diperbarui dan diperluas.
Akan diluncurkan di Semarang Contemporary Art Gallery (Galeri Semarang), Semarang pada Jumat (13/8) pukul 17.30. Dibuka oleh Gubernur Jawa Tengah (terpilih) Ganjar Pranowo dan Walikota Semarang Hendrar Prihadi. (*)
Artikel ini telah tayang di Intisari Online dengan judul Siapa Sebenarnya Tionghoa Peranakan?
Source | : | intisari online |
Penulis | : | None |
Editor | : | Ngesti Sekar Dewi |