Menurut data di Wikipedia, Tolokonnikova beserta suami, Pyotr Verzilov, dan Samutsevich pada awalnya adalah aktivis dari gerakan anarkis bernama Voina pada 2007 lalu.
Namun pada tahun 2009, mereka terpecah dan diikuti dengan kelahiran Pussy Riot pada 2011 tersebut.
Beberapa anggotanya bahkan sudah tak asing lagi dengan dinginnya jeruji penjara, seperti Maria Alyiokhina dan Nadezhda Tolokonnikova.
Melansir dari artikel terbitan The Sun, keduanya pernah dipenjara selama 21 tahun setelah melancarkan protes anti-Putin di Katedral Kristus, Moskwa, 2012 lalu.
Baca : Jatuh dari Lantai 20, Bocah 5 Tahun Ini Tergelantung Selama Setengah Jam
Maria Alyiokhina juga pernah dipenjara kembali pada tahun 2017 di Yakutsk, Siberia, setelah melakukan aksi protes lainnya terkait penahanan pegiat film Ukraina, Oleg Sentsov.
Tak hanya kepada pemerintahan di Rusia saja, Pussy Riot juga pernah melakukan protes kepada pemerintahan Amerika Serikat lewat lagu-lagu mereka yang berjudul 'Make America Great Again' dan 'Police State' pada tahun 2016.
Selain itu, Pussy Riot juga gencar memberikan dukungan terhadap gerakan feminisme dan LGBT terutama di Rusia.
Pussy Riot tidak mengelak atas aksinya yang dilakukan di final Piala Dunia 2018 yang bertempat di Stadion Luzhniki tersebut.
Justru mereka dengan bangga mengklaim bahwa aksi mereka ini dilakukan untuk membawa beberapa poin protes terkait politik di Rusia.
Protes-protes tersebut antara lain mengenai pembebasan tahanan politik, penangkapan ilegal, dan beberapa tuntutan lainnya demi terbentuk politik yang sehat di Rusia. (*)
Source | : | Mirror,The Sun,Wikipedia |
Penulis | : | Andika Thaselia |
Editor | : | Andika Thaselia |