Grid.ID - Mata Daeng Ampa (54) berbinar, bibirnya tersenyum melihat kapal Rumah Sakit Terapung Ksatria Airlangga (RSTKA) yang tampak kokoh dan megah di depannya.
Dari roman mukanya tertangkap kesan bangga sekaligus takjub melihat kapal yang tengah bersandar di pelabuhan Galesong, Takalar, Sulawesi Selatan, Selasa (2/10).
Sambil matanya menatap tubuh kapal, ia menceritakan secara detil bagian demi bagian kapal yang dibuatnya tersebut.
Bagi bapak empat orang anak tersebut ia pantas bangga melihat RSTKA karena kapal yang saat ini dikhususkan untuk misi kemanusiaan itu merupakan karya agungnya.
Kapal jenis phinisi dengan panjang 27 meter lebar 7,2 meter tersebut dibuat selama setahun lebih di galangan kapal miliknya di Galesong, Takalar.
"Saya tidak bisa melupakan kapal ini, tidak seperti membuat kapal lainnya, kapal ini punya sejarah," kata Daeng Ampa dengan senyum penuh makna.
Makanya ketika RSTKA dalam perjalanan dari Alor akan melakukan bakti sosial korban gempa di Palu dan Donggala, dia minta untuk bersandar di pelabuhan Galesong yang merupakan "tanah kelahiran RSTKA."
Tujuannnya selain untuk mengisi BBM dan logistik sekaligus dia ingin melihat keadaan kapal hasil karyanya.
"Karena memiliki ikatan emosional saya sampai ingat tanggal dan bulan pertama kalinya badan kapal diturunkan dan lambung kapal menyentuh air," katanya mengenang kapal yang memiliki fasilitas layaknya rumah sakit termasuk ruang operasi tersebut.
Bagi Daeng Ampa yang dalam kariernya selama 20 tahun lebih sudah menghasilkan ratusan kapal dan perahu tersebut ada banyak sisi menarik selama proses pembuatan sampai selesai yang membuatnya sangat membekas.
Diantaranya yang tidak bisa dilupakan adalah dia tidak menduga kalau kapal yang dibuatnya tersebut begitu jadi utuh bentuknya lebih besar dari yang ia bayangkan.
Akibatnya begitu kapal jadi dan diturunkan dari dok galangan tapi tidak bisa keluar ke arah laut sebab sungai yang akan dilintasi selain sempit juga dangkal.
"Saya bingung galangan saya di anak sungai yang bermuara di laut. Jadi satu-satunya jalan sungai yang dangkal itu terpaksa kita sewakan alat berat jenis eskavator untuk mengeruk lumpur di dasar sungai yang pengerjaannya memakan waktu sampai 10 hari lamanya," katanya mengenang.
Setelah selesi pengerukan ternyata "drama" tersebut belum selesai.
Ketika proses mengeluarkan kapal dari kandangnya itu bagian kapal menyentuh makam leluhur masyarakat Takalar yang kebetulan letaknya di tepi sungai.