Laporan Wartawan Grid.ID, Ngesti Sekar Dewi
Grid.ID – Bencana gempa dan tsunami yang meluluhlantahkan dua Kota Palu dan Donggala menjadi perhatian publik, tidak hanya publik dalam negeri, publik luar negeripun turut prihatin atas musibah yang menimpa masyarakat Sulawesi Tengah.
Tak hanya publik dunia, para peneliti duniapun turut memperhatikan kejadian ala mini. Namun banyak peneliti dunia yang heran mengapa gempa dengan kekuatan magnitude 7,7 mampu menciptakan ombak yang besar.
"Kami (peneliti) mengira ini (gempa) bisa menyebabkan tsunami namun tidak sebesar itu," kata Jason Patton seorang ahli geofisika yang menjadi pengajar di Humboldt State University di Kalifornia.
Baca Juga : Curahan Delia Septianti yang Sangat Terpukul Melihat Kondisi Adelia Pasha dan Korban Gempa Palu Lainnya
Patton menambahkan,"Ketika peristiwa ini terjadi kami (peneliti) lebih akan menemukan sesuatu hal-hal yang belum kami (peneliti) amati sebelumnya."
Menurut para peneliti gempa dan tsunami Sulawesi Tengah merupakan akibat dari fenomena strike-slip, yaitu bergesernya lempeng bumi secara horizontal dan fenomena ini seharusnya tidak mengakibatkan tsunami sebasar itu.
Kemungkinan lain yaitu tsunami tercipta secara tidak langsung yang juga disebabkan faktor lain.
Belakangan, banyak orang yang mengungkapkan keheranannya meneganai peringatan dini dan penanganan bencana.
Baca Juga : Tak Hanya Kolor, Nikita Mirzani Juga Dituduh Menggelapkan Mercy Milik Dipo Latief
Beberapa pertanyaan muncul mengenai peringatan dini yang dinilai lamban.
Kepala Badan Informasi Geospasial (BIG) Hasanuddin Z Abidin mengungkapkan keruwetan masalah yang dihadapi saat gempa Donggala yang diikuti tsunami Palu.
Ia menjelaskan, BIG sebenarnya mengelola satu stasiun pasang surut di dermaga Kota Palu. Dalam stasiun itu terdapat alat pengukur pasang surut yang berfungsi mendeteksi tsunami.
Didukung dengan daya listrik, stasiun akan meneruskan data pasang surut ke pemangku kepentingan seperti BIG dan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG).
Baca Juga : Cerita Tetangga Tentang Sosok Kakak Syahrini yang Meninggal Kesetrum
"Stasiunnya persis di pinggir laut. Online pakai listrik. Sebelum gempa sebenarnya berfungsi tetapi begitu gempa komunikasi listrik mati," jelasnya.
Hasan menambahkan, dia sendiri tak tahu nasib stasiun pasang surut, apakah hancur akibat gempa dan tsunami atau masih berdiri.
"Yang jelas begitu listrik mati, data berhenti mengalir. Inilah tantangannya kalau alat tergantung listrik. Kita mengandalkan baterai cadangan tetapi ternyata juga tidak berfungsi," ungkapnya. Ketika stasiun pasang surut tak berfungsi, sebenarnya masih ada satu harapan: buoy tsunami yang biasanya dipasang di lepas pantai.
Baca Juga : Ternyata Ruben Onsu Pernah Menjadi Petugas Kebersihan di Hotel Mewah Jakarta
"Tapi yang saya tahu kita tidak punya buoy tsunami di Palu. Buoy tsunami juga punya masalah. Banyak yang hilang dicuri," ungkap Hasan.
Gempa palu, kata Hasan, punya pelajaran penting soal perlunya infrastruktur peringatan dini gempa dan tsunami.
"Kita perlu buoy tsunami dan back up jika satu tidak berfungsi. Termasuk soal stasiun pasang surut, bagaimana bisa tetap beroperasi dengan baterai cadangan," katanya.
"Kita pun harus berpikir soal listrik yang tahan gempa. Setiap kali gempa listrik mati," imbuhnya ketika dihubungi Kompas.com, Minggu (30/9/2018). (*)
Viral, Pembeli Curhat Disuruh Bayar Biaya Pakai Sendok dan Garpu Saat Makan di Warung Mie Ayam, Nota Ini Jadi Buktinya
Source | : | Kompas.com |
Penulis | : | Ngesti Sekar Dewi |
Editor | : | Ngesti Sekar Dewi |