Hasilnya adalah pembagian dua wilayah Mataram menjadi Kesultanan Surakarta dan Kesultanan Yogyakarta.
Pada tahun 1756, Sultan Hamengkubuwono memerintahkan para prajurit Keraton Yogyakarta untuk membongkar hutan belantara yang terletak di kawasan Kotagede.
Di Hutan Bering itulah banyak terdapat pohon nangka, pohon kelapa dan daun so (dari pohon melinjo).
Berkat ide para prajurit kemudian mengombinasikan ketiga bahan tersebut, dan terciptalah sebuah hidangan bernama gudeg.
Nama Bering ini pula yang menjadi dasar atas penamaan Pasar Beringharjo di Yogyakarta.
Banyaknya jumlah prajurit, tentu tak memungkinkan memasak dengan wada yang kecil.
Maka mereka pun memasak gudeg dengan menggunakan kuali yang sangat besar.
Kuali itu terbuat dari bahan logam.
Nggak Cuma kualinya yang besar, pengaduknya pun juga besar.
Saking besarnya, pengaduk itu mirip dengan dayung perahu, papar penulis buku berjudul 'Gudeg, Sejarah dan Riwayatnya' itu.
Kalau kemudian diberi nama gudeg, itu karena berhubungan dengan proses membuatnya, yang harus diaduk terus.
Dalam bahasa Jawa mengaduk itu disebut dengan ‘hangudek’.
Dari sini lah gudeg ulai popular, tidak saja dari keluarga para prajurit Keraton Yogyakarta, tapi menyebar ke masyarakat luas. (*)