Grid.ID - Gudeg merupakan salah satu menu istimewa bagi Anies Baswedan, calon kuat gubernur DKI Jakarta terpilih.
Salah satu menu khas dari Yogyakarta ini memiliki cita rasa khas yang banyak disukai setiap wisatawan yang datang.
Mengapa Anies begitu cinta dengan makanan yang manis dan gurih ini?
(BACA JUGA : Mohon Doa! Kini Tak Hanya Kaki, Perut Jupe pun Ikut Membengkak)
Salah satu alasannya mungkin karena Anies masa kecilnya tinggal di Karangwuni, Jalan Kaliuran Km 5, Yogyakarta, bersama kedua orangtuanya dan asik-adiknya.
Bertahun-tahun tinggal di Kota Gudeg tentu membuatnya cinta dengan makanan lokal ini.
Di Kota Gudeg itu, Anies “Kecil” tinggal bersama Ayahnya, Drs. Rasyid Baswedan, merupakan dosen di Fakultas Ekonomi, Universitas Islam Indonesia) dan ibunya, Prof. Dr. Aliyah Rasyid, M.Pd. merupakan guru besar di Fakultas Ilmu Sosial dan Ekonomi, Universitas Negeri Yogyakarta) Universitas Negeri Yogyakarta (ketika itu IKIP Yogyakarta),
(BACA JUGA : Anies Buktikan Berhentikan Ahok Sebagai Gubernur Jakarta, Ini Yang Sekarang Terjadi)
Menu istimewa itu, sebenarnya ada asal usulnya, loh! Berdasarkan info yang diperoleh Grid.ID dari Kompas.com, gudeg lahir tak jauh setelah Perjanjian Giyanti berlangsung.
Perjanjian Giyanti merupakan kesepakatan antara Kesultanan Mataram dengan Pangeran Mangkubumi
Keterangan itu disampaikan oleh Murdijati Gardjito, seorang profesor sekaligus peneliti di Pusat Kajian Makanan Tradisional (PMKT), Pusat Studi Pangan dan Gizi UGM kepada Kompas.com.
Perjanjian Giyanti ini, lanjut Murdijati, berlangsung pada tahun 1755.
Hasilnya adalah pembagian dua wilayah Mataram menjadi Kesultanan Surakarta dan Kesultanan Yogyakarta.
Pada tahun 1756, Sultan Hamengkubuwono memerintahkan para prajurit Keraton Yogyakarta untuk membongkar hutan belantara yang terletak di kawasan Kotagede.
Di Hutan Bering itulah banyak terdapat pohon nangka, pohon kelapa dan daun so (dari pohon melinjo).
Berkat ide para prajurit kemudian mengombinasikan ketiga bahan tersebut, dan terciptalah sebuah hidangan bernama gudeg.
Nama Bering ini pula yang menjadi dasar atas penamaan Pasar Beringharjo di Yogyakarta.
Banyaknya jumlah prajurit, tentu tak memungkinkan memasak dengan wada yang kecil.
Maka mereka pun memasak gudeg dengan menggunakan kuali yang sangat besar.
Kuali itu terbuat dari bahan logam.
Nggak Cuma kualinya yang besar, pengaduknya pun juga besar.
Saking besarnya, pengaduk itu mirip dengan dayung perahu, papar penulis buku berjudul 'Gudeg, Sejarah dan Riwayatnya' itu.
Kalau kemudian diberi nama gudeg, itu karena berhubungan dengan proses membuatnya, yang harus diaduk terus.
Dalam bahasa Jawa mengaduk itu disebut dengan ‘hangudek’.
Dari sini lah gudeg ulai popular, tidak saja dari keluarga para prajurit Keraton Yogyakarta, tapi menyebar ke masyarakat luas. (*)