Grid.ID - ASEAN International Film Festival and Awards (AIFFA) 2017 mengumumkan daftar nomine, Kamis (4/5/2017) malam di Kuching, Sarawak, Malaysia.
Salah satu film asal Indonesia karya Sutradara BW Purba Negara, Film Ziarah, masuk dalam beberapa nomine yakni Best Film, Best Screenplay, Best Director, dan Best Actress.
Dalam kategori best actress muncul nama Mbah Ponco atau nama aslinya Ponco Sutiyem (95), warga Dusun Batusari, desa Kampung, Kecamatan Ngawen, Gunungkidul, Yogyakarta.
Sejak menikah dengan Ponco Sentono (100) tahun 1940-an dirinya tinggal di dusun Batusari.
Mbah Ponco tak mengenal dunia film sama sekali, namun dipilih oleh Sutradara Purba Negara sebagai tokoh utama film yang berlatar belakang masa-masa perang kemerdekaan itu.
Untuk berkunjung ke rumah Mbah Ponco di Dusun Batusari, Kompas.com melakukan perjalanan dari Kota Wonosari ke Desa Kampung yang berjarak sekitar 45 km, dengan waktu kurang lebih satu jam.
Sesampainya di Desa Kampung, menuju Dusun Batusari tak begitu jauh yakni arah menuju ke Kabupaten Klaten Jawa Tengah.
Sejumlah warga yang dimintai petunjuk pun dengan cekatan bisa menunjukkan detail jalan menuju rumah Mbah Ponco.
Sesampainya di rumah berbentuk Limasan, bercat tembok oranye, tampak Ponco Sentono sedang asyik menyiangi rumput yang tumbuh disela tumbuhan jagungnya.
Ketika ditanya mengenai keberadaan mbah Ponco Putri, dia membenarkan bahwa itu istrinya.
“Enggih mriki Griyane (Benar di sini rumahnya) mbah Ponco,” katanya sambil tak beranjak dari kegiatannya saat ditemui Kompas.com Sabtu (6/5/2017).
Saat mendengar ada beberapa orang yang datang, mbah Ponco Sutiyem beranjak dari tempat duduknya di ruang tamu.
Di mejanya masih ada satu teko teh, dan dua gelas teh kental tanpa gula kesukaannya.
Ruang tamu bergaya Jawa dengan gebyok dan beberapa foto keluarga. Di sekitar ruang tamu ada beberapa keranjang kacang tanah hasil panenanya.
“Mari sini mas,” katanya dalam bahasa Jawa.
Setelah beberapa saat berbincang, dia menceritakan tentang proses pengambilan gambar film Ziarah yang menjadikan dirinya sebagai nomine aktris terbaik.
Meski usianya lebih dari 90 tahun, ingatan Mbah Ponco tentang pembuatan film tahun 2015 lalu masih kuat.
Hanya saja, dia sudah tak begitu detail, Mbah Ponco hanya bisa menceritakan beberapa adegan.
Dia mengaku saat pengambilan gambar diajak ke beberapa lokasi di desanya, dan beberapa lokasi lainnya, seperti di wilayah Bayat dan Jombor, Klaten.
Sampai ke Embung Bathara Sriten di Kecamatan Nglipar Gunungkidul.
“Saya diajak dua kali yang hari pertama empat hari dan yang hari kedua delapan hari. Itu masuk ke desa-desa, di Jombor, Bayat, Klaten, Sriten,” ucapnya.
Jika merujuk dari sinopsis film tersebut, pada saat agresi militer Belanda ke-2 di tahun 1948, Sri terpisah dengan Prawiro.
Setelah beberapa tahun mencari tak ketemu, dan akhirnya bertemu dengan seorang sahabat Prawiro.
“(Dalam film) itu, nama saya Sri, katanya saya disuruh mencari kuburan seseorang, dan saya beli kembang di pasar, lalu menaburkan di atas makam,” ucapnya.
Dia mengaku tak bisa membaca sama sekali, dan mengikuti segala sesuatu yang diarahkan oleh sang sutradara.
Meski tak memiliki kemampuan akting, dirinya tak minder untuk beradu peran dengan beberapa pemain.
“Kulo mboten wedi, kalih wong gede-gede (saya tidak takut bersama orang-orang kaya). Ngasi ponakan kulo sik ten Jakarta takon kok wani. Kulo niku gih wani. Kulo mboten saget moco, (Sampai saudara saya yang di Jakarta tanya kok berani. tetapi saya menjawab tetap berani, meski saya tidak bisa membaca),“ katanya sambil tertawa.
Dia mengaku teringat saat beradu akting dengan sang menantu ketiganya, Supriyanto, dan dirinya harus berbahasa Jawa halus.
Padahal sebagai orang tua dirinya yang seharusnya dihormati sebagai ibu.
“Kulo diken boso kalian anak kulo, saya itu tertawa. Lha wong sama anak kok boso. (saat itu saya disuruh berbahasa jawa halus kepada anak saya. Saya tertawa sampai empat kali. Lha sama anak kok disuruh berbahasa jawa halus atau hormat),” kenangnya.
Ponco Sutiyem, mengaku tak ingat tahun kelahirannya.
Yang dia ingat saat perang kemerdekaan melawan Jepang, saat dia berusia 16 tahun dan sudah menikah bersama Ponco Sentono.
“Pekarangan rumah saya dibom, sampai pintu rumah jebol. Saya menggendong anak pertama (Sagiyem) yang masih berusia kurang dari seminggu, masuk kedalam lubang,” urainya.
Bersama suaminya, Mbah Ponco memiliki 7 anak, 27 cucu 40 buyut, dan 4 canggah (anak cucu).
Dia pun mengaku ingat beberapa nama cucunya.
Saat ini Ponco Sentono dan Ponco Sutiyem tinggal di rumahnya, yang tak jauh dengan rumah Kamti, anak nomor 5 yang setiap hari mengurus keperluan pasangan ini.
Salah seorang cucu Mbah Ponco yang mendampingi dalam pengambilan gambar film Ziarah, Risdiyanto mengatakan, awal mula terpilihnya Mbah Ponco Sutiyem menjadi salah satu artis yakni adanya mahasiswa dari Universitas Kristen Duta Wacana (UKDW) yang melaksanakan Kuliah Kerja Nyata (KKN) di desanya pada tahun 2015 silam.
Saat itu, Rusidyanto yang juga sebagai Kepala Dukuh Pagerjurang, Desa Kampung, ditemui oleh Bagus Sutriawan yang mengatakan lokasi tersebut layak untuk dijadikan pengambilan gambar sebuah film.
“Mas Bagus itu temannya sutradara Bw Purba (sutradara Film Ziarah), dan mengatakan lokasinya bagus untuk pengambilan film, lalu mencari pemain,” ucapnya.
Setelah melakukan beberapa pencarian figur yang tepat untuk memainkan Sri, tak juga ditemukan. Akhirnya Risiyanto menawarkan neneknya untuk diajak.
“Mbah saya itu yang terakhir, dan katanya cocok akhirnya bermain dalam film tersebut,” katanya.
Meski berusia senja, Mbah Ponco selalu mengikuti arahan dari sutradara dan kru film.
“Semangatnya itu luar biasa, meski tidak bisa mambaca namun beliau cepat mengerti bila diajari adegan,” ucap cucu mbah Ponco dari anak nomor 3 bernama Wasiyem ini. (*)
Kemensos Ajak Agus Salim Tabayyun, Apresiasi Kehadiran Pratiwi Noviyanthi dan Denny Sumargo di Kementerian
Penulis | : | Hery Prasetyo |
Editor | : | Hery Prasetyo |