Bahan bakar yang masuk ke dalam pesawat dihitung berdasar skala metric (liter) sementara crew mengasumsikannya dalam skala gallon. Akibatnya, pesawat pun kehabisan bahan bakar di udara.
Untungnya Captain Robert Pearsonn yang menerbangkan pesawat juga seorang penerbang pesawat glider, pesawat terbang layang tanpa mesin.
Seketika, ia pun menghitung kemampuan glide 767-nya, sambil berharap dapat memutar dan mendarat di lapangan terbang Winnipeg, yang menurut pehitungannya masih dalam jangkauan.
5. United Airlines Flight 232
Penerbangan United Airlines 232 adalah penerbangan Denver ke Chicago Amerika Serikat.
Pada tanggal 19 Juli 1989, pesawat McDonnell Douglas DC-10 mengalami kegagalan karena kerusakan mesin di bagian ekornya, yang menyebabkan hilangnya semua kontrol penerbangan.
Kegagalan mesin karena adanya keretakan pada permukaan kipas turbin yang tidak terdeteksi saat perawatan.
Pesawat ini kemudian lalu meledak ketika terperosok saat mesin mati di rerumputan Sioux City, Lowa, Amerika Serikat.
Pesawat yang membawa 285 penumpang ini menewaskan sekitar 111 orang dan melukai 172 orang.
(Tampil Dengan Muka Baru, Raut Nikita Mirzani Dibilang Seram, Ternyata Gara-Gara Ini)
6. Garuda Indonesia penerbangan GA421
Pada tanggal 16 Januari 2002, pesawat B737-300 Garuda Indonesia penerbangan GA421 ditching atau mendarat di anak sungai Bengawan Solo. Penyebabnya, kedua mesin pesawat mati saat terbang akibat menembus badai hujan dan es.
Pesawat rute Lombok - Yogyakarta itu membawa 54 penumpang dan 6 kru. Seluruh penumpang selamat, tetapi seorang kru awak kabin ditemukan tewas, diduga akibat benturan saat pesawat mendarat.
GA421 dijadwalkan terbang dari Selaparang, Mataram, pada pukul 15.00 WITA.
Pesawat B737-300 registrasi PK-GWA yang dipiloti oleh Kapten Abdul Rozak itu kemudian menuju ketinggian jelajah 31.000 kaki.
Pesawat dijadwalkan tiba di Yogyakarta sekitar pukul 17.30 WIB.
Namun saat meninggalkan ketinggian jelajah untuk turun ke bandara Adisutjipto, di atas wilayah Rembang, kapten penerbangan memutuskan untuk sedikit menyimpang dari rute seharusnya, atas izin ATC.
Hal itu dilakukan karena di depan terdapat awan yang mengandung hujan dan petir.
Kru pesawat mencoba untuk terbang di antara dua sel awan badai.
Sekitar 90 detik setelah memasuki awan yang berisi hujan, saat pesawat turun ke ketinggian 18.000 kaki dengan kondisi mesin dalam posisi idle, kedua mesin tiba-tiba mati dan kehilangan daya dorong (thrust).
Ketika pesawat sampai di ketinggian 8.000 kaki, dan kedua mesin belum berhasil di-restart, pilot melihat alur anak sungai Bengawan Solo dan memutuskan untuk melakukan pendaratan di sana.
Pesawat pun melakukan ditching tanpa mengeluarkan roda pendaratan maupun flaps (menjulurkan sayap). (*)
(Dari Pekerjaan ke Pelaminan, Inilah 6 Selebriti yang Menikah Dengan Manajernya )