Seiring berjalannya waktu, benang kapas hasil pintalan yang digunakan untuk menenun digantikan menjadi benang hasil jadi yang sudah dijual di pasaran.
Berkembangnya jaman yang serba teknologi serta masyarakat konsumtif, seakan tidak memberikan pengaruh apapun bagi masyarakat Sumba.
Hal itu dibuktikan dengan penolakan pengrajin tenun terhadap alat yang diberikan oleh pemerintah setempat.
(BACA: VIDEO: Pernah Terjerat Kasus Narkoba, Revaldo Sindir Setya Novanto Seperti ini)
"Pernah waktu itu pemerintah bantu memberikan alat tenun yang lebih modern, tapi para pengrajin nggak mau, mereka menolaknya," ujar Ignasius Hapu Karanjawa selaku pembina pengrajin tenun Sumba saat ditemui Grid.ID di pasar Sumba, The Darmawangsa Hotel, Jakarta, Rabu, (15/11).
Mereka menolak dengan alasan ingin tetap mempertahankan tradisi yang ada sejak zaman nenek moyang terdahulu.
Selain itu, mereka ingin mempertahankan filosofi pada setiap motif, dan para pengrajin merasa hasil akan lebih berkualitas jika menggunakan alat yang manual dan tradisional.
(BACA: Belum Ada Nama, Umi Pipik Adakan Test Food Kue Kekinian Pada Jamaah Majelis Taklim Umi Pipik)
Semua yang dilakukan oleh masyarakat Sumba khususnya pengrajin tenun adalah bentuk kecintaannya terhadap tradisi dan adat yang berlaku.
Yang mana tradisi dan adat yang berlaku merupakan bagian dari kebudayaan Indonesia. (*)
Pak Tarno Ketiban Rezeki Nomplok Usai Viral Jualan Ikan Cupang, Tangisnya Pecah saat Diberi Sosok ini Rp 50 Juta
Penulis | : | Jeanne Pita |
Editor | : | Jeanne Pita |