Malah untuk jenis yang bagus, dengan pompa berkualitas buatan Jerman yang digerakkan dengan tenaga Matahari, membangun rumah beratap untuk menyimpan bak penampungan, dan jalur distribusi melalui pipa-pipanya, biayanya bisa mencapai Rp700 juta.
Andre pun mengontak dan mendatangi para donatur, juga meminta bantuan peralatan dari perusahaan jasa air minum di Jakarta.
"Sampai sekarang sudah terbangun 29 sumur di seuruh Sumba," kata Andre.
Baca Juga : Pantas Saja Orang Jepang Sangat Disiplin, Begini Cara Orangtua di Jepang Mendidik Anak-Anaknya
Berkali-kali Nyaris Mati
Menetap di Sumba dalam pola dan cara hidup seperti orang setempat makin membuat Andre Graff seperti orang sana.
"Yang membedakan adalah saya punya kamera foto dan video, punya laptop untuk mengakses internet kalau sinyal lagi bagus. Selebihnya, saya makan dan hidup seperti orang sini," kata Andre dari rumah biiknya di Waru Wora, Lamboya, Sumba.
Ia makan dari hasil bumi setempat, bahkan rokok pun dari tembakau yang dia tanam sendiri dan dilinting pakai kulit jagung kering.
Ia begitu total hidup secara orang Sumba, bahkan mengalami sakit seperti orang setempat.
Malaria, demam berdarah, dsb berkali-kali.
Bahkan ia pernah dirawat di sebuah rumah sakit di Bali, namun keluar sebelum dinyatakan sembuh karena berpikir, "Wah, dengan biaya segitu, saya bisa bikin satu sumur," katanya.
Tapi Oktober lalu Andre mulai berpikir tentang asuransi. Ia pulang ke negaranya, selain untuk mencari donasi bagi proyeknya membangun sumur-sumur air di Sumba, juga untuk mengurus asuransi.
"Supaya kalau saya sakit tidak terlalu terbebani biaya."
Ia menegaskan, semata-mata agar tidak terlalu terbebani biaya, bukan soal takut mati.
"Waktu masih jadi penerbang hot air balloon saya sering terkena angin gunting sampai hampir celaka, Apalagi dalam cuaca buruk, malam hari pula. Banyak teman saya yang sudah mati."
Baca Juga : William Chandler, Pilot Gadungan yang Baru Tertangkap Setelah 20 Tahun Terbangkan Pesawat
Ingin Mati di Sumba
Meski telah membangun 29 sumur di seantero P. Sumba, Andre Graff belum merasa berhasil.
"Saya sekadar mengantarkan masyarakat menuju ke peradaban yang lebih baik. Tugas merekalah untuk terus menjaga kelangsungan sumur-sumur itu agar terus bisa memancarkan air," katanya dalam bahasa Indonesia diselingi bahasa Inggris dengan aksen Prancis.
Meski hampir delapan tahun bekerja tanpa pamrih, belum semua warga Sumba tersadarkan akan pentingnya karya Andre.
Baca Juga : Keren! Gerbang Tol Salatiga Diklaim Sebagai Gerbang Tol Terindah, Saingannya Hanya Ada Di Swiss
Ia kadang masih dianggap bule yang sekadar ingin mengeksploatasi alam dan mencari keuntungan, kadang dimintai uang, kadang pula dicurangi misalnya dalam soal sewa kendaraan untuk mengangkut peralatan pembangunan sumur.
"Ya, masih ada orang-orang yang belum sadar, malah menggali kuburnya sendiri. Air bersih kan untuk mereka sendiri? Untuk masa depan anak-anak mereka?" sambung pria 56 tahun kelahiran Prancis ini.
Tapi itu semua tak mengurangi kecintaannya kepada Sumba. Andre telah menganggap kawasan yang sebagian masyarakatnya masih hidup dalam tradisi Marapu, kepercaraan warisan nenek moyang, itu sebagai tanah air keduanya.
"Saya sudah minta ke Kedutaan Besar Prancis di Jakarta, nanti kalau saya mati, jangan bawa mayat saya pulang. Mayat saya tidak ada gunanya. Saya ingin dikubur di Sumba, karena yang penting adalah apa yang sudah saya perbuat untuk Sumba. (*)
Artikel ini telah tayang di Intisari Online dengan judul, “Andre Graff, Bule Penggali Sumur yang Berkali-kali Nyaris Mati Demi Buat Sumber Air di Tandusnya Tanah Sumba”
Gagal Move On dan Tak Terima sang Mantan Pacar Sudah Punya Kekasih Baru, Pria Ini Culik sang Wanita tapi Keciduk Polisi, Begini Akhirnya
Source | : | intisari online |
Penulis | : | None |
Editor | : | Ngesti Sekar Dewi |