Grid.ID – wilayah yang dilalui garisan khatulistiwa memang memiliki iklim yang lebih hangat dan cenderung tak memiliki musim bersalju.
Hal ini bisa kamu lihat sendiri seoperti yang kita rasakan di Indonesia.
Namun, penelitian terbaru menunjukkan bahwa dahulu, sekitar setengah miliar tahun lalu, Bumi merupakan bola salju raksasa.
Bahkan, gletser atau bongkahan menyelimuti dunia sampai wilayah khatulistiwa secara misterius.
Baca Juga: Bukan Salju, ini Beda Fenomena Embun Beku yang Terjadi di Bromo dan Semeru
Bukan hanya sekali, menurut para ahli geologi, fenomena ini terjadi setidaknya dua kali di masa lalu Bumi.
Artinya, wilayah khatulistiwa dahulu bak benua Antartika.
Kini, yang menjadi pertanyaan adalah ke mana perginya salju atau es yang menyelimuti khatulistiwa, termasuk Indonesia itu?
Para ilmuwan baru-baru ini menemukan bahwa episode bola salju terakhir berakhir hanya dalam sekejap pada 635 juta tahun lalu.
Baca Juga: Temukan Jerawat Kecil Karena Hobi Berjemur, Wanita ini Justru Terkena Kanker Kulit
Penyebabnya adalah peristiwa geologis yang sangat cepat dan kemungkinan memiliki implikasi untuk pemanasan global yang dipicu manusia saat ini.
Sebagai informasi, es yang menyelimuti seluruh permukaan Bumi itu terjadi bukan dalam waktu singkat tapi ribuan tahun.
"(Meski begitu, es) meleleh dalam waktu tidak lebih dari 1 juta tahun," ungkap Shuhai Xiao, salah satu peneliti yang terlibat dalam studi ini dikutip dari Science Mag, Selasa (02/04/2019).
Baca Juga: Dibalik Keindahan Fenomena Frost Atau Embun Beku di Gunung Bromo, Ada Bahaya yang Mengintai
Menurut Xiao, ini seperti sekedipan mata dalam sejarah Bumi selama 4,56 miliar tahun.
Dengan kata lain, fenomene ini menunjukkan bahwa dunia mencapai titik kritis yang tiba-tiba.
Sayangnya, tim ini masih belum bisa memastikan penyebab dari hilangnya es di khatulistiwa ini.
Meski begitu, mereka berpendapat bahwa karbon dioksida yang dipancarkan oleh gunung berapi purba mungkin telah memicu peristiwa rumah kaca.
Baca Juga: Kisah Dokter Rogozov, Nekat Bedah Isi Perutnya Sendiri di Tengah Badai Salju
Hal ini lah yang menyebabkan lapisan es mencair dalam "sekedipan mata".
Untuk mendapatkan keterangan lebih lanjut, Xiao dan koleganya akan mempelajarinya lewat batuan vulkanik dari provinsi Yunnan di China selatan.
Batuan tersebut tertanam di bawah jenis batuan lain yang disebut tutup karbonat, yaitu endapan unik dari batu kapur dan dolostone yang terbentuk selama masa melelehnya "Bola Salju Bumi" sebagai respons terhadap tingginya karbon sioksida di atmosfer.
Dengan penanggalan radiometrik, tim tersebut menemukan batuan vulkanik berusia 634,6 juta tahun.
Baca Juga: Super Romantis! Kevin Aprilio Lamar Sang Kekasih di Tengah Hamparan Salju
Sayangnya, penanggalan batuan ini tidak bisa mengungkapkan kecepatan pencairan es yang terjadi pada masa tersebut.
Tahun 2005 lalu, tim ilmuwan berbeda melakukan penanggalan batuan vulkanik di atas tutup karbonat serupa di lokasi berbeda, provinsi Guizhou, China.
Batuan tersebut berusia 635,2 juta tahun.
Dua sampel tersebut menunjukkan peristiwa melelehnya es di sebagian besar bumi adalah pencairan cepat selama 1 juta tahun.
Laporan mengenai penelitian ini kemudian dipublikasikan oleh tim tersebut dalam jurnal Geologi.
Baca Juga: Datangi Gunung Bersalju, Syahrini Tutupi Badan Mungilnya dengan Parka Seharga Rp 134 Juta
Kuncinya, Xiao menjelaskan, adalah bahwa dua tanggal ini jauh lebih tepat daripada sampel sebelumnya, dengan error bar (grafik untuk menunjukkan variasi akibat eror atau ketidakpastian dalam pengujian) kurang dari 1 juta tahun.
Error bar itu pada dasarnya menggolongkan periode di mana tutup karbonat terbentuk — dan, dengan demikian, membatasi periode peristiwa pencairan Bumi Bola Salju terakhir.
Karena sampel yang ditemukan sebelumnya memiliki error bar beberapa juta tahun atau lebih, Xiao mengatakan bahwa penanggalan baru ini adalah yang pertama yang dapat digunakan untuk menghitung laju pencairan dengan pasti.
Namun, karena dua sampel baru berasal dari China selatan, artinya kedunya tidak mengambarkan fenomena global tentang pencairan kuno, kata Carol Dehler, ahli geologi di Universitas Negeri Utah di Logan.
Untuk melakukan itu, para ilmuwan perlu menemukan batuan vulkanik yang dapat didata dari bagian lain dunia, yang kira-kira "sama lazimnya dengan unicorn," canda Dehler.
Tetapi, dia menambahkan, mereka mungkin ada di luar sana "menunggu untuk ditemukan."
Baca Juga: Bak Artis Hollywood, Lihat Seksinya Luna Maya dengan Mini Dress Belahan Dada Rendah Saat Pemotretan
Meski demikian, memahami sifat glasiasi purba ini dapat membantu para ilmuwan menghadapi perubahan iklim hari ini.
"Saya pikir salah satu pesan terbesar bahwa fenomena 'Bola Salju Bumi'pada manusia adalah bahwa itu menunjukkan kemampuan Bumi untuk berubah secara ekstrem pada skala waktu yang pendek dan lebih lama," tutur Dehler.
(*)
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Dulu Bak Antartika, Ke Mana Hilangnya Salju di Indonesia?"
Source | : | kompas |
Penulis | : | None |
Editor | : | Ngesti Sekar Dewi |