Satu-satunya kriteria pembeda hanya usia.
Puncak pendangkalan makna pemuda terjadi pada pertengahan tahun 90an ketika julukan ‘ABG’ atau Anak Baru Gede mengemuka.
Lantas, kini pada era digital, anak muda dilabel sebagai ‘kids jaman now’ yang diasosiasikan dengan berbagai aksi lucu yang kerap viral di media sosial.
Tak sebatas stereotype, para pemuda-pemudi kini juga harus berjuang menghadapi arus pasar global yang disebut-sebut memasuki era 4.0.
Pasca-reformasi politik yang diusung mahasiswa pada 1998, generasi muda yang besar pada 16 tahun pertama reformasi terkungkung dalam narasi pasar yang dibuka seluas-luasnya serta menyasar mereka sebagai konsumen.
Ditambah lagi, pada masa transisi politik dan ekonomi yang tengah mengalami desentralisasi, generasi muda dibiarkan tumbuh besar tanpa sebuah narasi kepemudaan.
Sebuah narasi yang menempatkan mereka sebagai subyek perubahan bukan sebatas obyek. Sebagai akibatnya, arus konservatisme yang tengah menglobal pun menjadi konsumsi baru para ‘kids zaman now’.
Kini kebinekaan yang diusung oleh pemuda-pemudi revolusi tengah mengalami sebuah ujian besar.
Generasi muda penentu tren
Berbagai hasil riset sosial maupun marketing kini menempatkan generasi muda sebagai prioritas utama.
Sebab, sejak percepatan adopsi media sosial serta smartphone pada tahun 2013, anak muda selalu memiliki peran ‘pivotal’ dalam diseminasi sebuah tren.
Secara spesifik, usia pivotal itu merentang pada usia 17-25 tahun. Pada rentang usia tersebut, seorang anak muda dapat mengambil aspirasi dari usia yang lebih muda, sebagai contoh berbagai permainan anak-anak seperti board games, lego, hingga mobile games kembali menjadi relevan.
Mahalini Umumkan Hamil Anak Pertama, Intip Potret Istri Rizky Febian saat Pamer Perut Buncit
Source | : | Kompas.com |
Penulis | : | None |
Editor | : | Gridaidi |