Penamaan penyakit akibat virus adalah masalah rumit yang melibatkan sains dan hubungan masyarakat.
Nama-nama sebelumnya, seperti flu Spanyol atau demam Rift Valley, telah dianggap berkontribusi terhadap stigmatisasi negara atau wilayah.
Pada tahun 2015, WHO selaku organisasi kesehatan dunia mengeluarkan pedoman baru, setelah pilihan nama untuk sindrom pernapasan Timur Tengah atau MERS menuai kritikan.
Selain menghindari nama tempat, pedoman tersebut merekomendasikan untuk tidak menggunakan nama orang (penyakit Creutzfeldt-Jakob, penyakit Chagas), nama hewan (flu babi, equine encephalitis), referensi budaya atau pekerjaan (penyakit Legionnaires) atau kata-kata yang menyebabkan ketakutan (tidak diketahui), kematian, fatal dan epidemi.
WHO juga telah merekomendasikan nama sementara sendiri untuk penyakit baru: penyakit pernapasan akut 2019-nCoV.
Tetapi namanya sulit diucapkan dan kurang populer dibandingkan "coronavirus".
"Kami pikir itu sangat penting untuk mengeluarkan nama sementara sehingga tidak ada lokasi yang dikaitkan dengan nama itu," Maria Van Kerkhove, seorang ahli epidemiologi WHO.
(*)
3 Bulan Nunggak SPP, Siswa SD Duduk di Lantai Jadi Tontonan Teman Sekelas, Pagi sampai Siang Tak Boleh Duduk di Bangku
Source | : | ny times,BBC |
Penulis | : | Silmi Nur Aziza |
Editor | : | Irene Cynthia Hadi |