Laporan Wartawan Grid.ID, Devi Agustiana
Grid.ID – Banyaknya kasus perawat atau dokter yang terinfeksi Covid-19 dipicu oleh beberapa faktor salah satunya ialah ketidakjujuran pasien ketika berobat atau saat ditanya perihal kronologi penyakitnya.
Padahal keterbukaan pasien menjadi kunci bahwa Covid-19 dapat disembuhkan dan penularan dapat dicegah.
Hal itu superti yang diutarakan oleh Nurdiansyah, salah satu perawat yang turut menangani pasien Covid-19 di Rumah Sakit Pusat Infeksi (RSPI) Sulianti Saroso, ketika berbagi pengalamannya di Media Center Gugus Tugas Percepatan penanganan Covid-19, Graha Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB).
Baca Juga: Nunung Ternyata Sempat Lakukan Penolakan di Awal Proses Rehabilitasi karena Pengaruh Narkoba
Sudah banyak beberapa tenaga medis yang terinfeksi hingga gugur dalam melaksanakan tugasnya.
Bagi Nurdiansyah, hal itu semakin menambah cerita duka bagi dirinya dan juga para tenaga medis lainnya saat melaksanakan tugasnya menangani Covid-19.
“Sudah mulai banyak kasus-kasus yang terjadi dengan kita. Beberapa teman ada yang dirawat. Teman-teman yang tertular dari pasien. Ada yang tertular karena mungkin ketidakjujuran (pasien). Bulan ini kita penuh duka, angka positif dari teman-teman kita semakin banyak, yang meninggal juga,” ungkap Nurdiansyah.
Ketidakjujuran pasien membahayakan bagi petugas atau tenaga medis yang menanganinya.
Pasien yang tidak mengakui dirinya memiliki kemungkinan terinfeksi Covid-19 menyebabkan tenaga kesehatan mennjalankan tugasnya seperti penanganan pasien biasa, tanpa perlindungan diri sesuai protokol penanganan pasien Covid-19.
Hal ini terjadi di sejumlah daerah.
Salah satunya terjadi di RS dr. Karyadi, Semarang.
Sebanyak 46 tenaga medis positif tertular virus corona dari pasien yang tidak jujur.
Kejadian yang sama juga terjadi di Cirebon.
Akibat ketidakjujuran keluarga pasien, sebanyak 21 orang tenaga medis harus menjalani isolasi.
Merespons peristiwa ini, Ikatan Dokter Indonesia (IDI) berharap, masyarakat untuk jujur dan tidak menutupi kondisinya demi kebaikan semua pihak.
Baca Juga: Unggah Video TikTok Menggemaskan Pakai Lagu Melly Goeslaw, Member TXT Bikin Heboh Fans!
Anggota Bidang Kesekretariatan, Protokoler, dan Public Relation Pengurus Besar (PB) IDI dr. Halik Malik mengatakan, masing-masing bisa mengetahui potensi dan risiko serta kemungkinannya tertular virus corona.
"Penyakit Covid-19 bukanlah aib dan tidak ada diskriminasi dalam penanganannnya. Jadi lebih baik terbuka biar nyawa sendiri selamat karena cepat ditangani dan tidak menularkan ke orang lain, karena segera diantisipasi," kata Halik, Selasa (21/4/2020).
"Pemerintah dan semua pihak dalam setiap kesempatan selalu mengingatkan agar masyarakat bisa menilai diri masing-masing terkait risiko atau kemungkinan menderita Covid-19 berdasarkan gejala, riwayat perjalanan, dan riwayat kontak sebelumnya," lanjut dia.
Menurut dia, mungkin saja ada pasien yang tidak mengetahui apakah dirinya memiliki kemungkinan terinfeksi virus corona karena tidak tidak tahu telah berkontak fisik dengan orang yang terinfeksi.
Namun, hal itu tidak menjadi alasan seseorang untuk menutupi kondisi kesehatannya jika mengalami gejala-gejala yang mengarah pada Covid-19.
"Terkait kondisi kesehatannya sendiri harus disampaikan apa adanya. Saat ini orang tanpa gejala cukup banyak, banyak yang tidak mengetahui sebelumnya kalau dirinya sudah tertular," ujar Halik.
Untuk mencegah berulangnya kejadian seperti ini, Halik menyarankan agar screening di setiap fasilitas kesehatan dilakukan dengan lebih ketat.
Baca Juga: Hargai Jasa Ojek Online dan Supir Taksi, Prilly Latuconsina Bagi-bagi Makanan di Tengah Covid-19
Salah satu cara yang bisa dilakukan adalah dengan membuat alur layanan terpisah antara pasien yang mengarah ke Covid-19 dan pasien umum.
Hal ini bisa diketahui dari proses pemindaian yang dilakukan saat pertama kali pasien masuk.
"Dibuat sistem layanan kesehatan yang lebih anisipatif terhadap risiko pasien dengan corona di setiap puskesmas, klinik, dan RS. Setiap pasien yang datang dilakukan skrining Covid dan non-covid berdasarkan gejala dan riwayatnya," kata Halik.
"Dibuat alur layanan yang terpisah antara Covid dan non-Covid. Jadi ada pemilihan pasien dan alur pelayanan yang berbeda," lanjut dia.
Namun, Halik menyadari belum semua faskes saat ini menerapkan prosedur yang sama.
Oleh karena itu, IDI meminta adanya penyesuaian pada semua sistem layanan untuk mengantisipasi risiko penularan di lingkungan fasilitas kesehatan.
Selain screening di faskes, saat ini juga sudah tersedia banyak aplikasi yang memungkinkan seseorang dapat melakukan screening mandiri atau self assesement dari rumah.
Namun, Halik menyadari, tidak mudah bagi para petugas kesehatan dapat mengetahui informasi terkait riwayat perjalanan, riwayat kontak, dan riwayat penyakit sebelumnya tanpa ada informasi dari pasien itu sendiri.
"Oleh karena itu, tetap perlu dilakukan screening berdasarkan keterangan apa adanya dari pasien dan keluarga serta pemeriksaan awal di lini depan setiap fasilitas pelayanan kesehatan," ujar Halik.
(*)
Kimberly Ryder Klarifikasi soal Lemari Plastik yang Jadi Omongan Netizen, Ada Sejarah Miris di Baliknya
Source | : | Kompas.com,Covid19.go.id |
Penulis | : | Devi Agustiana |
Editor | : | Ulfa Lutfia Hidayati |