Laporan Wartawan Grid.ID, Devi Agustiana
Grid.ID – Depresi kerap dikaitkan dengan urusan kesehatan mental.
Keadaan ini bisa muncul ketika seseorang penuh tekanan dan stres
Tahukah kamu bahwa sebenarnya depresi juga bisa terjadi pada organ intim wanita?
Walaupun terdengar tidak mungkin terjadi, tapi depresi pada organ intim wanita itu juga sering dialami.
Depresi pada organ intim wanita merupakan kondisi di mana vagina mengalami kondisi tertekan atau dikenal dengan vulvodynia.
Apa itu vulvodynia?
Diwartakan Kompas, vulvodynia pertama kali didokumentasikan dalam teks kedokteran pada 1880, dideskripsikan sebagai "supersensitivitas vulva" atau "sumber dispareunia" (hubungan seksual yang menyakitkan), menurut Lisa Goldstein, direktur eksekutifonal Vulvodynia Association.
Saat ini, studi terbaru menunjukkan sekitar 16 persen perempuan AS pernah menderita vulvodynia.
Sayangnya, penelitian tentang penyakit ini masih sangat minim.
Hal ini disebabkan oleh sulitnya mempelajari subjek yang sensitif seperti itu, variasi definisi dan kriteria diagnostik, juga kurangnya penelitian historis tentang kesehatan kewanitaan.
Pada tahun 2011, lebih dari 80 peneliti berkumpul untuk konferensi tentang penelitian vulvodynia di Institut Kesehatan Anak dan Pengembangan Manusia di AS.
"Para peserta konferensi sepakat bahwa basis bukti untuk penelitian vulvodynia jarang, dan bahwa tidak ada bukti ilmiah yang cukup untuk membentuk konsensus tentang metode diagnosis dan pengobatan yang lebih disukai," mereka menyimpulkan.
Dikutip Grid.ID dari Tribun Jambi, yang perlu untuk diketahui, vulvodynia adalah sindrom nyeri kronis pada vagina yang datang tanpa peringatan dan dapat bertahan dalam jangka waktu yang lama.
Ciri vagina depresi seperti terbakar, menyengat, gatal, berdenyut, bengkak, nyeri yang teramat menyakitkan.
Memang penyebab vagina depresi atau vulvodynia tidak bisa dikenali dan diketahui hingga saat ini.
Tapi, rasa sakitnya sangat nyata.
“Biasanya kita melakukan tes dengan kapas lalu menerapkan tekanan ke berbagai daerah vagina dan meminta pasien untuk mengevaluasi keparahan rasa sakit saat disentuh,” jelas Sherry Ross, MD., ahli kesehatan perempuan di Santa Monica, California.
Diagnosis bisa sangat sulit, karena vagina terlihat normal saat pemeriksaan.
Meskipun tidak ada obat untuk vulvodynia, ada perawatan yang bisa dilakukan.
Beberapa dokter meresepkan antidepresan dosis rendah.
"Tidak jelas mengapa antidepresan bekerja untuk beberapa perempuan dengan kondisi tersebut, tapi itulah yang dilakukan,” ungkap Tara Allmen, ginekolog.
Lebih lanjut, dijelaskan oleh Tara, dosis antidepresan untuk mengobati vulvodynia jauh lebih rendah daripada yang digunakan untuk gangguan depresi yang sebenarnya.
Itu berarti perempuan mengobati vulvodynia mereka dengan resep yang juga bisa mendapat efek samping seperti kenaikan berat badan dan libido berkurang.
Sayangnya, untuk menyembuhkannya membutuhkan waktu beberapa bulan.
Baca Juga: Dituding Sultan Abal-Abal, Raffi Ahmad Balas Sebut Artis Ini Tidak Disukai Siapa Pun
Solusi penyembuhan vagina depresi atau vulvodynia ialah dengan melakukan hubungan seks lebih rutin atau meningkatkan frekuensi.
Seks akan mengeluarkan kolagen yang sehat dan sel elastin dan mempertahankan aliran darah ke daerah tersebut, jelas Maria Sophocles, MD, obgin, direktur medis dari kesehatan perempuan dari Princeton, New Jersey.
Jika tidak mendapatkan banyak kegiatan seks pada hari ini, saat inilah masturbasi berguna.
Masturbasi dan seks mempertahankan struktur vagina, terutama pembukaan, yang dapat perlahan-lahan memperpendek sesuai dengan usia kita.
Tidak hanya vulvodynia yang menyakitkan secara fisik, tetapi juga dapat menimbulkan beban emosional dan mental pada wanita dan hubungan mereka yang paling intim.
Banyak yang menderita kondisi ini tidak mau terbuka karena rasa malu dan stigma yang dapat melekat tentang kesehatan seksual.
Ini adalah gangguan besar dalam kehidupan orang-orang dan dapat mengisolasi secara sosial, kata Angie Stoehr, direktur Stoehr Center for Pelvic and Intimate Pain, yang memiliki pasien melalui perceraian yang dipicu oleh kondisi mereka.
Sedangkan yang lain telah melewatkan waktu kerja yang panjang atau tidak dapat bekerja karena rasa sakit.
(*)
Penulis | : | Devi Agustiana |
Editor | : | Nurul Nareswari |