Laporan Wartawan Grid.ID, Devi Agustiana
Grid.ID – Indonesia bersama banyak negara lainnya masih memerangi wabah virus corona.
Virus corona masih menjadi musuh terbesar umat manusia di masa sekarang ini.
Kehadiran pandemi global Covid-19 ini bisa sekejap merubah kehidupan dan kebiasaan umat manusia.
Pemerintah, tenaga medis, dan masyarakat di banyak negara tengah kompak memerangi wabah ini.
Baca Juga: Pandemi di Inggris Mulai Surut, Liam Payne Kepergok Gandeng Mesra Sang Pacar Saat Kencan
Berdasarkan laporan data pada laman Covid19.go.id, tercatat ada penambahan kasus baru.
Sehingga total kasus virus corona per-Jumat (7/8/2020) di Indonesia menjadi 121.226 orang.
Kemudian, pasien sembuh 77.557 dan meninggal dunia 5.593.
Namun, siapa sangka di balik upaya memerangi wabah virus corona, China justru harus menghadapi masalah lain.
Infeksi virus baru ini disebabkan oleh gigitan kutu dan bisa menular dari orang ke orang.
Dilansir Grid.ID dari Kompas.com, sebanyak 37 orang di Provinsi Jiangsu, China Timur, didiagnosis dengan Severe Fever Thrombocytopenia Syndrome (SFTS) atau demam parah pada tahun ini.
Penyakit tersebut disebabkan oleh virus baru (Novel bunya virus) yang diakibatkan oleh tick atau kutu.
Penyakit ini kemudian disebut tick borne, atau ditularkan oleh kutu.
Baca Juga: Usai Pulih dari Covid-19, Tom Hanks Kabarnya Tertarik Bintangi Film Live Action Pinocchio!
Dikutip dari jurnal yang diterbitkan di Science Direct, Jumat (7/8/2020), infeksi virus ini didiagnosis dengan SFTS, yang mana pasien ditandai dengan sindrom demam akut dengan suhu di atas 38 derajat celsius.
Selain itu, trombositopenia dan leukopenia kurang dari normal, khususnya yang berhubungan dengan riwayat gigitan kutu di daerah endemik.
Menurut jurnal PubMed National Library of Medicine, sejumlah peneliti di China mencoba meneliti penyebab penyakit seperti demam berdarah yang terjadi pada petani.
Berdasarkan deteksi yang dilakukan, mereka menemukan sebuah virus yang tidak diketahui dalam sampel darah orang yang terinfeksi dan dari kutu Haemaphysalis yang dikumpulkan dari anjing.
Analisis sekuens genom keseluruhan mengidentifikasi virus itu sebagai anggota baru dari Bunyaviridae atau bunya virus.
Lantas, seberapa berbahaya penyakit ini?
Apakah bisa masuk ke Indonesia?
Epidemiolog dari Griffith University Australia Dicky Budiman, mengatakan, penyakit yang saat ini menyebabkan tujuh kematian dan puluhan orang terinfeksi di China ini bukanlah penyakit baru.
Baca Juga: Dwi Andika Merasa Kasus Vanessa Angel Bisa Dijadikan Pelajaran untuk Warga Indonesia
"Dikenal dengan STFS virus, termasuk kategori bunyavirus dan sudah dikenal sejak 2011," kata Dicky, Sabtu (8/8/2020).
Ia menuturkan, kasus pertama penyakit ini ditemukan pada 2009 dan virusnya sudah diisolasi pada 2011.
Kasus serupa juga pernah terjadi pada 2013 di Jepang, dan Korea Selatan.
Dicky mengatakan, yang harus diwaspadai dari penyakit ini adalah potensi penularan dari manusia ke manusia, artinya memiliki potensi untuk menyebar ke wilayah lain.
"Namun, dari sisi mekanisme penularannya, maka potensi adanya wabah berskala besar relatif kecil. Termasuk potensi masuk ke Indonesia relatif masih kecil," kata Dicky.
Ia menjelaskan, virus ini menular lewat paparan darah dan mukosa penderita.
Penularan juga hanya dapat terjadi lewat adanya paparan terhadap luka dan saluran pernafasan.
"Gejala yang terjadi berupa demam, batuk, dan gejala mirip flu," jelas Dicky.
Baca Juga: Panggil Irwan Mussry dengan Sapaan Daddy, Dul Jaelani Ogah Sebut Mulan Jameela Mama: Masih Sungkan
"Bila melihat gejala klinis yang terlihat maka penyakit ini lebih mirip demam berdarah. Seperti demam trombocytopenia dan perdarahan, bisa berupa gusi berdarah dan bercak di kulit," imbuhnya.
Sebagai langkah antisipasi, Dicky menyarankan untuk melakukan skrining setiap produk import dan juga orang asing yang masuk wilayah Indonesia.
Ia juga menjelaskan, skrining untuk STFS berbeda dengan Covid-19 yang menggunakan PCR (Polyemerase Chain Reaction).
Pada STFS, skrining yang dilakukan adalah pemeriksaan darah lengkap, termasuk serum darah.
Baca Juga: Nikita Mirzani Ungkap Sempat Ingin Rujuk dengan Mantan Suami: Dia Juga Kepikiran Kayak Gitu!
Selain itu, ia juga menyebut bahwa tingkat fatalitas dari penyakit ini tergolong kecil.
Namun, pada lansia yang berisiko tinggi, fatalitasnya bisa mencapai 10 persen.
Lebih lanjut, dijelaskan melalui laman Times of India, memang infeksi ini pada manusia memiliki tingkat kematian kasus yang tinggi (tingkat awal 30%).
Sejak penemuannya, jumlah kasus telah meningkat secara signifikan, dengan tingkat kematian kasus saat ini sekitar 10–16%, data ini menurut Sistem Informasi China untuk Pengendalian dan Pencegahan Penyakit.
(*)
Nyesek, Abidzar Ternyata Sempat Jedotin Kepalanya ke Tembok Usai Tahu Uje Meninggal, Umi Pipik: Dia Nyalahin Dirinya
Source | : | Kompas.com,times of india,covid19.go.id |
Penulis | : | Devi Agustiana |
Editor | : | Ayu Wulansari Kushandoyo Putri |