Laporan Wartawan Grid.ID, Ragillita Desyaningrum
Grid.ID – Bumi tempat kita tinggal menyimpan banyak sekali hasil alam yang dapat kita gunakan demi keberlangsungan hidup.
Sayangnya, tanggapan ini justru memicu adanya kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh keserakahan manusia dalam mengambil hasil alam.
Pada akhirnya, terjadi pencemaran di mana-mana, baik di darat, di laut maupun di udara.
Dalam studi terbaru yang dilansir dari Kompas.com, wilayah bumi yang ditempati oleh sepertiga populasi penduduk dunia, termasuk 145 juta penduduk Indonesia akan sulit bertahan hidup 50 tahun mendatang, karena pemanasan global akibat emisi gas rumah kaca.
Bukan hanya itu, dalam laporan yang disampaikan Bain & Company yang bertajuk Southeast Asia’s Green Economy Potential pada Desember lalu, emisi gas rumah kaca di Asia Tenggara diperkirakan akan meningkat 60 persen pada tahun 2040.
Hal ini tidak boleh diremehkan karena peningkatan emisi gas rumah kaca sangat berkaitan dengan peningkatan suhu bumi yang berdampak pada pemanasan global.
Baca Juga: Diangkat sebagai Duta Lingkungan Sejak Tahun 2005, Tasya Kamila Rupanya Terobsesi Jadi Menteri!
Pemanasan global yang sangat cepat itu akan menyebabkan 3,5 miliar manusia hidup di luar wilayah layak huni atau tidak dapat bertahan hidup.
Pasalnya, kondisi suhu panas ekstrem akan dialami oleh sebagian besar wilayah yang bahkan telah dijadikan tempat tinggal selama lebih dari 6 juta tahun.
Dalam sebuah Webinar yang diadakan Gojek dalam rangka peluncuran fitur GoGreener Carbon Offset 2.0, salah satu pembicaranya, Dr Beria Leimona yang merupakan peneliti senior dari The World Agroforestry Center (ICRAF) juga menyampaikan keprihatinan terhadap isu perubahan iklim.
"Menurut penemuan terakhir di tahun 2020, Indonesia masih ada di ranking 40-an dari 130 negara yang masyarakat yang sadar dengan isu perubahan iklim dan bagaimana cara menanggulanginya."
Tentunya rangking ini memprihatinkan, apalagi Indonesia adalah salah satu negara dengan jumlah penduduk yang paling banyak di dunia.
Artinya, masih banyak sekali penduduk yang belum sadar betapa pentingnya menjaga lingkungan dan alam tempat kita tinggali ini.
"Semua kondisi alam yg dihasilkan ekosistem kadang kita take it for granted, kita pikir semua itu gratis. Kita lupa kalau alam perlu usaha yang besar dalam menghasilkan jasa lingkungan. Karena masih tersedia dengan banyak, kita anggap itu gratis. Tapi begitu jasa lingkungan terdegradasi atau lebih banyak demand-nya banyak daripada supply-nya akhirnya menjadi barang yang langka," ujar Dr Beria.
Menurut Dr Beria juga perlu adanya kesadaran bahwa udara yang kita hirup dan air yang kita pakai bukan barang gratis yang bisa didapatkan terus menerus tanpa ada usaha timbal balik.
Oleh sebab itu, kesadaran akan pentingnya menjaga alam harus dipupuk sejak dini, agar anak tumbuh dengan kesadaran yang penuh bahwa alam tempat mereka hidup sedang tidak baik-baik saja.
Dr Beria juga menyayangkan bahwa walaupun pendidikan tentang lingkungan hidup di Indonesia memang sudah ada, pendidikan ini belum terintegrasi.
"Kami kebetulan di ICRAF juga sedang memikirkan mengenai pendidikan lingkungan hidup. Jadi ingin melihat dan menganalisis kira-kira seperti apa pendidikan lingkungan hidup di Indonesia. Saat kami mencoba untuk berinteraksi dengan beberapa stakeholder termasuk pemerintah, memang sudah ada, tapi sayangnya belum terintegrasi. Jadi misalnya di kurikulum itu memang ada tapi hanya beberapa, tidak ada sesuatu yang memang berkelanjutan terus," jelas Dr. Beria.
Selain itu, diperlukan pula upaya yang lebih besar dari tenaga pengajar untuk memasukkan materi-materi tentang lingkungan supaya lebih terintegrasi.
"Kemudian dari segi tenaga pengajarnya. Di sini mungkin juga perlu effort tambahan supaya bagaimana para guru juga bisa memasukkan materi-materi yang tentang lingkungan secara lebih terintegrasi," tambah Dr Beria.
Hal ini akhirnya memerlukan peran orang tua sebagai pendidik pertama dan utama yang berpengaruh besar pada anak.
Orangtua juga perlu ikut berperan dalam memberikan edukasi pada anak mengenai pentingnya menjaga lingkungan.
Baca Juga: Ghaitsa Kenang Sebut International Flower Competition 2019 Ajang yang Unik
Beberapa hal kecil yang diajarkan orang tua mungkin akan sangat berpengaruh pada anak, seperti misalnya mematikan lampu dan kran air setelah digunakan, membuang sampah pada tempatnya, serta mengajak anak menanam dan merawat pohon di taman rumah.
Selain itu juga orangtua bisa memilihkan anak sekolah yang mempunyai berbagai macam program pendidikan tentang lingkungan hidup yang terintegrasi sehingga anak tumbuh dengan terbiasa menjaga lingkungan di sekitarnya.
(*)
Nyesek, Abidzar Ternyata Sempat Jedotin Kepalanya ke Tembok Usai Tahu Uje Meninggal, Umi Pipik: Dia Nyalahin Dirinya
Source | : | Kompas.com,Bain.com |
Penulis | : | Ragillita Desyaningrum |
Editor | : | Nesiana Yuko A |