Harsono berangkat pukul 06.30 WIB untuk berjualan cilok secara keliling. Terutama di sejumlah sekolah yang ada di Kecamatan Sumbersari hingga Kecamatan Kaliwates.
"Berangkat pagi, pulangnya habis isya’," aku dia.
Pertama kali berjualan, cilok tidak terjual habis. Bahkan, ketika menjual ke sekolah, wali murid tidak memperbolehkan anaknya membeli cilok karena merupakan jenis makanan baru.
Semangat Harsono mulai berkurang karena penghasilan tak sesuai dengan harapan.
Dia kembali memilih jadi tukang becak selama dua bulan. Namun sang istri memintanya untuk berjualan cilok lagi.
"Waktu itu, penghasilan becak hanya Rp 5000. Sedangkan berjualan cilok Rp 10 ribu," tambah Siti Fatimah, istri dari Harsono.
Karena mendapat dorongan dari istri untuk bersabar, Harsono kembali menjual cilok secara keliling.
Perjuangan Harsono berjualan cilok secara keliling selama lima tahun membuahkan hasil. Nama Cilok Edy mulai dikenal masyarakat.
Wali murid yang awalnya tak mau membeli, kini mulai ketagihan karena memiliki rasa yang berbeda.
Harsono semakin semangat, setiap pagi dia menjual cilok di SD, kemudian siang hari jam 13.00 berjualan di SMP, lalu sore hari berkeliling di daerah perkotaan, seperti alun-alun Jember.
Selama lima tahun berkeliling, permintaan Cilok Edy semakin banyak. Dulu, daging sapi yang digiling untuk bahan cilok hanya sekitar 1,5 kilogram. Namun sekarang sudah sampai 25 kilogram daging setiap harinya.
Source | : | Kompas.com |
Penulis | : | None |
Editor | : | Mia Della Vita |