Laporan Wartawan Grid.ID, Rissa Indrasty
Grid.ID - Asap rokok dapat menyebabkan berbagai penyakit yang membahayakan nyawa para penghisap dan orang-orang di sekitarnya.
Namun, masih banyak pula orang-orang yang menyepelekan merokok dan mengabaikan kesehatan orang-orang sekitarnya.
Salah satu dampak buruk dari merokok adalah penyakit yang berkaitan dengan pernapasan, yaitu bronkopneumonia.
Dikutip Grid.ID melalui Nakita, Minggu (6/9/2021), seseorang dengan bronkopneumonia mungkin mengalami kesulitan bernapas karena saluran udara mereka menyempit
Bronkopneumonia merupakan salah satu jenis penyakit saluran pernapasan yang rentan menyerang bayi.
Anak-anak dan bayi dapat menunjukkan gejala yang berbeda. Sementara batuk adalah gejala paling umum pada bayi, mereka juga mungkin mengalami:
1. detak jantung yang cepat
2. kadar oksigen darah rendah
3. penarikan otot-otot dada
4. sifat lekas marah
5. penurunan minat makan, makan, atau minum
6. demam
7. kemacetan
8. sulit tidur
Dikutip Grid.ID melalui Tribunnews.com, Senin (6/9/2021), ternyata efek negatif rokok lebih dari itu.
Baca Juga: Alvin Faiz Disebut-sebut Gunakan Narkoba, Ameer Azzikra: Rokok Aja Bang Alvin Gak Demen!
Menurut penelitian yang dilakukan Pusat Kajian Jaminan Sosial (PKJS) Universitas Indonesia ditemukan bahwa, anak dengan orangtua perokok ternyata dapat mengalami stunting alias kondisi gagal tumbuh dan kurangnya kecerdasan pada anak.
Kondisi ini tak hanya terjadi akibat asap rokok semata, menurut Ketua Satuan Tugas Remaja Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) Dr. Bernie Endyarni Medise, Sp.A(K), MPH, orangtua perokok cenderung memilih membeli rokok dan mengurangi ‘jatah’ biaya belanja makanan bergizi, kesehatan, pendidikan, dan masih banyak lagi.
“Ada dua dampak yang dirasakan anak dengan orangtua perokok, pertama, asap rokok dapat mengganggu penyerapan gizi anak dan akhirnya mengganggu tumbuh kembang, dan kedua, orangtua mengurangi jatah belanja makanan bergizi demi membeli rokok,” ujar Bernie Endyarni Medise
Kepala Departemen Ilmu Ekonomi FEB UI sekaligus penanggung jawab penelitian tim riset PKJS menjelaskan tentang temuan ini.
“Kami mengamati berat badan dan tinggi anak-anak kurang dari atau berumur 5 tahun pada 2007 dan kemudian melacak mereka pada 2014."
"Secara mengejutkan, ditemukan anak-anak yang tinggal di rumah tangga dengan orang tua perokok kronis serta dengan perokok transien cenderung memiliki pertumbuhan lebih lambat dalam berat dan tinggi dibandingkan mereka yang tinggal di rumah tangga tanpa orang tua perokok,” ujarnya.
Lewat penelitian ini, tambah Teguh, ditemukan juga bahwa anak-anak yang tinggal dengan orang tua bukan perokok tumbuh 1,5 kg lebih berat dan 0.34 cm lebih tinggi dari mereka yang tinggal dengan orang tua perokok kronis.
Memperhitungkan faktor genetik dan lingkungan dari anak, penelitian ini menegaskan adanya bukti kuat dan konsisten secara statistik bahwa anak dengan orangtua perokok kronis memiliki probabilitas mengalami stunting 5,5 persen lebih tinggi dibandingkan anak dengan orangtua bukan perokok.
Untuk pencegahan, tentu kebiasan yang tumbuh semenjak masa remaja ini harus dihentikan agar anak Indonesia terbebas dari Stunting.
Apalagi permasalahan ini sangatlah serius bahkan bisa menentukan masa depan anak bangsa.
"Sesuai arahan Presiden Jokowi Widodo, prevalensi stunting harus turun 14% pada tahun 2024. Kementerian Kominfo fokus untuk kampanye terukur di 260 Kabupaten/Kota prioritas."
"Fokus kami salah satunya melalui digital campaign tentang meningkatkan kesadaran publik terkait pencegahan stunting," terang Kepala Subdirektorat Informasi dan Komunikasi Kesehatan, Direktorat Informasi dan Komunikasi Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, Kementerian Komunikasi dan Informatika, Marroli J. Indarto dalam keterangan tertulisnya terkait stunting, Kamis (23/1/2020).
Untuk itulah demi masa depan anak bangsa lebih cerah tanpa stunting, tindakan untuk mengurangi jumlah perokok aktif di Indonesia harus dilakukan.
Apalagi berdasarkan data dari Riset Kesehatan Dasar Nasional (Riskesdas) 2018, prevalensi merokok pada remaja usia 10 sampai 18 tahun mengalami peningkatan sebesar 1,9% dari tahun 2013 (7,20%) ke tahun 2018 (9,10%).
Demi menyelamatkan bonus demografi Indonesia pada tahun 2030 dari ancaman stunting, tentu kebiasaan yang tumbuh semenjak masa remaja ini harus dihentikan dengan menumbuhkan kesadaran pada setiap individu bahwa rokok tak hanya berbahaya bagi kesehatan namun juga dapat menyebabkan stunting yang bisa merusak masa depan bangsa.
Stunting sendiri sebenarnya tak hanya terjadi karena rokok semata. Banyak faktor lainnya yang membuat seorang anak mengidap stunting. Mulai dari kekurangan gizi saat masa kehamilan dan 1000 hari pertama, faktor kebersihan seperti sanitasi yang bersih dan sehat, faktor literasi ibu, serta beragam faktor lainnya.
Baca Juga: Ini Kisaran Harga Ganja yang Dibeli Anji Manji Melalui Website dari Amerika
Mobil Mewahnya Ditabrak Sopir Truk, Wanita Ini Malah Tak Marah dan Tak Minta Ganti Rugi, Ini Alasannya
Source | : | tribunnews,Nakita |
Penulis | : | Rissa Indrasty |
Editor | : | Nurul Nareswari |