Didiet juga mengatakan, buruh gendong termasuk salah satu kelompok masyarakat yang paling
merasakan dampak ekonomi akibat pandemi Covid-19. Sebab, selama pandemi, aktivitas di pasar
tradisional menurun sehingga pendapatan mereka juga berkurang dan semakin sulit untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Ketua II Yasanti, Sariroh, melihat bahwa pandemi ini berdampak besar secara ekonomi untuk para buruh gendong. Pendapatan yang normalnya Rp20.000 sampai Rp50.000 kini menurun drastis.
“Selama pandemi, para buruh gendong tetap beraktivitas meskipun pendapatannya sangat menurun. Pas awal pandemi, ada buruh gendong yang hanya bisa dapat Rp 2.000 per hari,” ujarnya.
Sutinah (48), salah seorang buruh gendong di Pasar Beringharjo menuturkan bahwa kini ia hanya dapat memperoleh pendapatan sekitar Rp5.000 per hari. “Kadang itu benar-benar sepi dan enggak ada kerjaan,” ujar Sutinah yang sudah bekerja menjadi buruh gendong selama 10 tahun lamanya.
Para buruh gendong di Yogyakarta ini memang kebanyakan sudah berusia lanjut namun hal ini tidak menghalangi semangat kerja mereka. “Ada yang usianya masih 35 tahun, tetapi ada juga yang sudah berusia 75 tahun dan 79 tahun. Namun, mereka enggak mau berhenti kerja. Katanya, kalau di rumah, malah stres,” tutur Sariroh.
Pada Mei 2020 lalu, Yayasan DKK juga pernah menyalurkan bantuan untuk ratusan buruh gendong di Daerah Istimewa Yogyakarta. Terdapat 434 paket bantuan sembako yang disalurkan untuk para buruh gendong di empat pasar Provinsi DIY.
Baca Juga: Menteri Nadiem Makarim Resmikan Perguruan Tinggi Vokasi Multimedia Nusantara Polytechnic
Anggunnya Aaliyah Massaid saat Maternity Shoot, Berbalut Gaun Panjang Tanpa Umbar Perut Seksi
Penulis | : | None |
Editor | : | Edi Torgri |