Dikutip Grid.ID melalui Konpas.com, Jumat (1/10/2021), sejak tahun 1980-an, masalah krisis paruh baya atau puber kedua mendapat banyak perhatian.
Salah satunya dari Dan Jones, PhD, Director of the Counseling and Psychological Services Center di Appalachian State University.
Risetnya mengungkapkan, krisis paruh baya tak hanya dialami laki-laki semata, melainkan juga perempuan di usia 37 sampai 50 tahun.
Perbedaan gender dalam konteks ini menyebabkan perempuan tidak terlalu berlebihan mengalami krisis paruh baya.
“Padahal, mungkin ada juga perempuan yang mengalami gejolak tadi, mulai dari perubahan secara fisik, kondisi keluarga yang berubah, atau merasa gelisah dengan kehidupan. Tapi memang karakter krisis paruh baya ini berbeda antara pria dan wanita.”
Krisis paruh baya adalah gejolak emosional yang terjadi pada satu tahapan usia tertentu dari 30 – 70 tahun, dengan puncaknya di usia 40 – 60 tahun.
Evans menjelaskan, perubahan ini umumnya dilihat sebagai gejolak, sehingga sering muncul persepsi bahwa laki-laki usia 40 tahun berubah menjadi genit terhadap perempuan.
“Faktanya, cerita bahwa di usia ini pria banyak yang ingin menikah lagi itu tak ada hubungannya dengan usia. Banyak sekali faktor yang memengaruhi kenapa laki-laki sampai menikah lagi. Saat krisis paruh baya yang akan terjadi adalah perubahan-perubahan dalam fase hidupnya.”
Source | : | Kompas.com,Intisari.grid.id |
Penulis | : | Rissa Indrasty |
Editor | : | Nurul Nareswari |