"Tidak mungkin setelah terpidana mati menjalani eksekusi mati atau menjalani pidana seumur hidup dan terhadap jenazah terpidana dilaksanakan kebiri kimia."
"Lagipula pasal 67 KUHP tidak memungkinkan dilaksanakan pidana lain apabila sudah pidana mati atau seumur hidup," kata Yohanes Purnomo Suryo, dikutip dari Tribunnews Bogor.com, Selasa (15/2/2022).
Lebih lanjut Yohanes menjelaskan mengapa terdakwa tak jadi diberi hukuman mati, yang dianggap melanggar HAM.
Di sisi lain terdakwa sudah mengakui kesalahannya dan menyesal telah melakukannya.
“Berdasarkan pembelaan terdakwa, hukuman mati bertentangan dengan HAM. Dan pada pokoknya, terdakwa menyesal atas kesalahan," sambung Yohanes.
Di sisi lain Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) menyatakan bahwa pihaknya menghormati putusan dari hakim yang telah mengganti hukuman untuk terdakwa.
"Kami menghormati putusan hakim ini karena sudah melaksanakan aturan terbaru terkait ancaman pidana dalam persetubuhan terhadap anak yang memungkinkan hukuman dapat dilakukan maksimal yaitu UU 17 Tahun 2016," ujar Deputi bidang Perlindungan Khusus Anak KemenPPPA Nahar, dikutip dari Kompas.com.
Kendati demikian, Nahar masih menunggu putusan dari JPU apakah akan menerima vonis tersebut atau mengajukan banding.
"JPU dalam tujuh hari ke depan pikir-pikir untuk banding atau tidak. Jadi kami masih menunggu kasus ini memiliki kekuatan hukum tetap," kata Nahar.
Sebagai informasi, hakim menerapkan 9 anak dari korban pemerkosaan Herry untuk diserahkan biaya perawatannya kepada Pemerintah provinsi Jawa Barat.
Kompensasi yang diberikan kepada para seluruh korban adalah Rp 331,52 juta yang akan dibebankan kepada pemerintah Jabar melalui KemenPPA.
(*)
Nyesek, Abidzar Ternyata Sempat Jedotin Kepalanya ke Tembok Usai Tahu Uje Meninggal, Umi Pipik: Dia Nyalahin Dirinya
Source | : | Kompas.com,Tribun Bogor |
Penulis | : | Citra Widani |
Editor | : | Nesiana |