Selain permintaan agar sang ibu bisa masuk ke pendopo, Kartini juga mengajukan syarat lain untuk menerima pinangan sang Bupati Rembang.
Dalam buku Kartini Guru Emansipai Perempuan Nusantara yang ditulis Ready Susanto, Kartini meminta dibolehkan membuka sekolah dan mengajar putri-putri pejabat Rembang seperti yang ia lakukan di Jepara.
Syarat lain yang lebih radikal adalah terkait prosesi upacara penikahan. Kartini tak mau ada prosesi jalan jongkok, berlutut, dan menyembah kaki mempelai pria.
Terakhir, dia akan berbicara bahasa Jawa ngoko, bukan kromo inggil, kepada suaminya untuk menegaskan bahwa seorang istri harus sederajat.
Semua syarat yang diajukan Kartini diterima oleh Joyodiningrat.
Selain karena pemikirannya yang modern, Kartini ternyata sosok yang dikagumi mendiang istri Joyodiningrat, Sukarmilah.
Sebelum meninggal, sang istri berpesan agar Joyodiningrat menikah dengan Kartini.
Setelah menikah, Kartini mendukung langkah suaminya memberantas candu yang bertentangan dengan anggota Dewan Hindia.
"Tengoklah, jadi bukannya rakyat yang tak mau berhenti mengisap candu, tapi pemerintah, Pahit, tapi benar, kutuk terhadap orang Jawa adalah suatu kekuatan hidup bagi pemerintah," tulis Kartini kepada Ny Abendanon, 10 Agustus 1904.
Kartini tutup usia pada 17 September 1904, empat hari setelah melahirkan putra pertama sekaligus anak terakhirnya, Soesalit Djojoadhiningrat.
Wafat pada usia 25 tahun, Kartini dimakamkan di Desa Bulu, Kecamatan Bulu, Rembang, Jawa Tengah.
Artikel ini telah tayang di TribunPalu.com dengan judul: Kisah Hidup Ngasirah Ibu Kandung Kartini, Harus Jadi Selir dan Dipanggil Anak-anaknya 'Yu' (*)
Source | : | TribunPalu.com |
Penulis | : | None |
Editor | : | Novita |