Tapi yang membuat saya hancur adalah pada saat melihat Arif dan Hanny dan keluarga mereka. Di balik ekspresi saya yang tenang saya hanya ingin berteriak kepada mereka kalau saya tidak membunuh Mirna.
Mohon tolong saya, saya sangat menderita. Namun pada saat itu saya hanya bisa menerima perlakuan dan perasaan mereka dan berdoa semoga Tuhan memberikan jalan keluar.
Tidak selesai itu saja, setelah itu saya harus berjalan menuju toko sabun.
Di sore hari pada hari Minggu saya harus melewati pengunjung yang menghujat saya pembunuh berdarah dingin dan mengambil foto, sampai sekarang saya tidak tahu harus bagaimana harus menghadapi semua itu.
Saat itu saya kembali ke sel dan mengeluarkan semua air mata yang tertahan seharian. Saya tidak mau memperdulikan situasi sel yang sangat tidak nyaman karena hal ini.
Selama masih secara rutin diperiksa di Polda dan di RSCM, walau berat saya tetap mengikuti dan berharap cepat selesai dan bisa pulang. Bagaimanapun stressnya saya, saya tetap menghormati proses pemeriksaan sesuai prosedur.
Semua tuduhan yang berdatangan dari orang-orang yang tidak dikenal dan orang-orang yang dulu saya sayangi membuat saya merasa kalau tidak ada lagi yang tersisa dalam diri saya. Namun saya yakin semua akan baik-baik saja.
Setelah empat hari dikurung sendiri, saya dipindahkan ke Pondok Bambu. Pertama-tama saya sangat takut karena begitu banyak orang di sana membuat saya sangat khawatir akan peringatan polisi pada saat saya ditahan.
Setelah keluar dari isolasi di Polda saya perlahan mulai bisa memepersipkan diri untuk bisa menghadiri proses sidang yang menyeramkan ini. Menyeramkan karena tujuan dari persidangan ini adalah untuk mengadili saya sebagai pembunuh. Padahal saya tidak melakukan itu.
Bahkan saat proses persidangan berlangsung kehidupan saya pribadi yang tidak ada kaitannya dengan kasus ini dibahas dan menjadi konsumsi publik.
Banyak orang yang dengan sengaja maupun tidak sengaja menindas dan menekan saya.
Saya tetap bersyukur karena masih ada orang di sekitar saya yang saya kenal secara pribadi mapun tidak dengan tulus memberikan dukungan dan percaya kalau saya tidak bersalah. Dengan dukungan tersebut saya bisa bersikap tegar dan tersenyum.
Kalau Yang Mulia dapat berhenti sejenak dan membayangkan Yang Mulia berada di posisi saya, Yang Mulia akan bisa mengerti kenapa saya bertanya-tanya apa yang terjadi dan mengapa semua ini sangat membingungkan, bagaimana bisa orang berbuat jahat seperti ini terhadap saya.
Karena pengalaman ini hidup saya tidak akan kembali seperti semula. Namun saya tidak menyesal telah mengenal Mirna. Dia akan selamanya hidup di hati saya sebagai teman yang baik dan dia tahu kalau saya tidak mungkin meracuni orang.
Saya memohon Yang Mulia bisa dengan bijak menilai karakter saya. Bukan berdasarkan kebohongan. Walaupun sisi baik saya selalu diabaikan di persidangan ini, saya tetap berharap agar Yang Mulia bisa menilai dengan hati yang arif dan bijak dalam menilai karakter saya yang sesungguhnya.
Saya bersumpah kalau saya bukan seorang pembunuh. Saya berada di sini dengan tegar dan kuat adalah bukti yang mutlak kalau Tuhan bersama kita semua. Terimakasih Yang Mulia yang sudah mendengarkan saya," demikian pledoi yang panjang dari Jessica Kumala Wongso.
Artikel ini telah tayang di laman GridFame.ID dengan judul: Kasus Sianida Ramai Lagi, Jessica Wongso Justru Bikin Petugas Lapas Kaget dengan Tabiatnya yang Kerap Begini: Saya Tidak Membunuh Mirna! (*)
Kimberly Ryder Klarifikasi soal Lemari Plastik yang Jadi Omongan Netizen, Ada Sejarah Miris di Baliknya