Lembaga ini awalnya menempati bangunan bekas Toko Gramedia di Jalan Jenderal Sudirman Nomor 56, Yogyakarta. Tahun 1993, Bentara kemudian bergeser ke Jalan Suroto Nomor 2, Kotabaru, Gondokusuman, di kota yang sama, sampai sekarang.
Empat tahun kemudian, tepatnya 26 Juni 1986, lahir Bentara Budaya Jakarta. Lembaga ini bermarkas di rumah kayu Kudus yang dilengkapi dua galeri sisi serta gedung serbaguna yang dirancang oleh arsitek Romo Mangunwijaya. Lokasinya di Palmerah Selatan Nomor 17, Jakarta, di lingkungan perkantoran Kompas Gramedia. Menteri Penerangan Harmoko dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Fuad Hassan hadir meresmikannya. Pada momen itu, Jakob Oetama mengungkapkan, rumah kayu jati tersebut diboyong dari Kudus, Jawa Tengah, dipugar, dan didirikan kembali di Jakarta ("Peresmian Gedung Bentara Budaya Jakarta: Peran swasta memang diperlukan", Kompas, 27 Juni 1986).
Pada Januari 2009, Bentara Budaya juga mengelola Gedung Balai Soedjatmoko di Solo, Jawa Tengah. Menyusul pada September 2009, diresmikan Bentara Budaya Bali di kawasan Ketewel, Gianyar, Bali. Sesuai semangat Jakob, kehadiran Bentara Budaya di beberapa kota itu diharapkan dapat menambah infrastruktur seni budaya di Indonesia sambil meningkatkan apresiasi masyarakat luas. Ini menjadi bagian dari upaya mempercepat tumbuhnya kehidupan seni budaya yang sehat (Efix Mulyadi, "Langkah-langkah Budaya" dalam Kompas Menulis dari Dalam", 2007).
Kenapa dinamakan Bentara? Nama "Bentara" dipilih karena Kompas Gramedia memang mempunyai sebuah yayasan bernama Bentara Rakyat yang dibentuk oleh PK Ojong dan Jakob Oetama tahun 1960-an. Karena lembaga baru ini bergerak dalam bidang Kebudayaan, maka jadilah nama Bentara Budaya untuk lembaga kebudayaan milik Kompas Gramedia ini (Hermanu, "Pengantar Kurator Pameran Audio Lawasan, Pelantang”, 2022).
"Bentara" berarti utusan. Saat dipadukan dengan kata budaya, dapat dimaknai sebagai utusan budaya atau semacam lembaga yang menyuarakan aspirasi kebudayaan. Saat didirikan, Bentara mengusung surya sengkalan (penanda waktu) "Manembah Hangesti Songing Budi". Jargon ini dapat ditafsirkan, bahwa lembaga ini ditujukan untuk mempersembahkan kemuliaan pikiran tanpa pamrih. Pikiran, hikmah, kearifan, itu diperas demi membangun kehidupan manusia yang lebih beradab.
Dalam praktik, sebagaimana dicatat kurator senior Bentara Sindhunata SJ, Bentara bertekun untuk menopang komunitas budaya dan para seniman yang tengah berjuang mengembangkan diri. Saat berbarengan, lembaga ini juga menaruh penghargaan yang sama terhadap seni kontemporer, dan berbagai isu wacana terbaru pada kesenian dan kebudayaan. Semua itu ditempuh dengan kesadaran untuk menghadirkan sosok kebudayaan Indonesia (Sindhunata, "Selayang Pandang Bentara Budaya Yogyakarta," 2007).
Kini, tahun 2022, Bentara telah berusia 40 tahun. Sudah empat dasawarsa lembaga ini bekerja untuk memanggungkan kreasi seni dari berbagai wilayah di Nusantara. Pameran, diskusi, workshop, dan pertunjukan atau bermacam kegiatan seni telah digelar silih berganti. Banyak seniman lintas bidang dan lintas generasi, termasuk dari mancanegara, yang telah tampil atau ambil bagian dalam kolaborasi di ruang-ruang lembaga ini.
Patut disyukuri Bentara dapat bertahan sampai sekarang. Apresiasi kepada semua pihak yang telah menopang keberlangsungan lembaga ini. Meski tak selalu mudah, misalnya kerumitan menggelar pameran tatap muka saat pembatasan sosial di tengah pademi Covid-19, nyatanya Bentara masih ada, hidup, dan berdenyut.
Baca Juga: Oetama Cup 2022 Gelar River Clean Up, Gaungkan Semangat Peduli Lingkungan
Curhatan Mail Asisten Nikita Mirzani yang Ditahan, Rajin Ngaji Hingga Ngeluh Tak Bisa Nonton Konser NCT
Penulis | : | None |
Editor | : | Nira Emily |