Grid.ID - Empat puluh tahun bukanlah waktu yang pendek bagi sebuah lembaga yang mengurusi seni budaya. Dalam perjalanan panjang tersebut tentu banyak dinamika yang telah terjadi, dan empat puluh tahun akan dilewati Bentara Budaya, sebuah lembaga yang mengurusi seni budaya di bawah naungan Kompas Gramedia.
Empat puluh tahun lalu Sindhunata, wartawan Kompas menemui Jakob Oetama untuk menyampaikan pemikiran tentang lembaga yang akan mengurusi seni budaya yang kemudian diberi nama Bentara Budaya oleh Jakob Oetama, pimpinan Kompas Gramedia.
Lahir di Yogyakarta pada 26 September 1982, Bentara Budaya kemudian tumbuh di Jakarta, Solo dan Bali. Dinamika seni budaya memang tidak sepenuhnya milik Bentara Budaya, namun langkah Bentara Budaya layaknya goresan kata pada kalimat yang tak sepenuhnya terucap seandainya kata tersebut hilang. Empat puluh tahun sebuah perjalanan yang harus dimaknai sebagai satu keberlanjutan dari titik awal di Yogyakarta, dan kemudian menyebar ke seluruh penjuru Nusantara.
Awal 80 – an merupakan titik pijak bagi Bentara Budaya, hadir di Yogyakarta dan Jakarta merupakan pilihan yang rasional. Yogyakarta merupakan kota bertemunya berbagai manusia, dan budaya. Di Yogyakarta pertemuan menjadi sebuah persaudaraan, buah pemikiran dan karya lahir di kota ini. Beragam seni budaya berkembang dan tumbuh di kota kerajaan Jawa, dan dinamika yang awalnya dari satu dua sudut kota menjelma dan berdiaspora di seluruh penjuru kota, bahkan kini bermunculan di pinggiran kota berbagai kelompok seni budaya, baik seni rupa, sastra, teater, musik dsb. Bentara Budaya Yogyakarta berada di tengah kota, berawal di Jl Sudirman, dan menyatu dengan TB Gramedia. Kemudian di awal 90 – an berpindah di Jl Suroto 2 Kotabaru, satu halaman dengan Kompas.
Dari Jl Suroto inilah ruang Bentara Budaya Yogyakarta membuka diri bagi para seniman untuk menampilkan karya – karya mereka. Dari sekian karya seni yang dihadirkan sebagian besar merupakan karya seni rupa. Di Jl Suroto inilah para seniman dari era Djoko Pekik sampai era Teresia Sitompul pernah menampilkan karya mereka, dan tidak sedikit menjadi titik balik bagi para perupa untuk lebih dikenal publik luas, serta menjadi awal untuk memasuki babak baru dalam berkesenian.
Pameran Ajur Ajer merupakan pameran bersama 26 seniman yang dulunya pernah berpameran di Bentara Budaya Yogyakarta. Ajur Ajer merupakan istilah Jawa yang memiliki arti kebersamaan, melebur menjadi satu. Itulah yang coba dijalani Bentara Budaya Yogyakarta sekian lama bersama kawan – kawan seniman di Yogyakarta.
Kebiasaan ini terus menerus dijaga Bentara Budaya Yogyakarta, tanpa kehadiran para seniman tentu saja Bentara Budaya Yogyakarta tidak memiliki makna akan kehadirannya di Yogyakarta. Kebersamaan itulah yang coba dihadirkan dalam pameran yang berlangsung dari tanggal 22 September 2022 sampai 2 Oktober 2022 di Bentara Budaya Yogyakarta. Pameran akan dibuka setiap hari mulai pukul 10.00 s/d pukul 21.00 WIB.
Sejarah Bentara Budaya dapat dirunut dari kiprah PK Ojong (1920-1980) dan Jakob Oetama (1931-2020), dua pendiri Kompas Gramedia. Kedua sosok itu mencintai seni, mengoleksi karya seni, serta bergaul erat dengan banyak budayawan dan seniman. Seiring tumbuhnya bisnis Kompas Gramedia, dirintis pula lembaga yang diharapkan turut memperkuat sosok kebudayaan Indonesia.
Ojong suka mengoleksi karya seni. Kesukaannya bervariasi, mulai dari lukisan, patung, atau keramik. Dia beberapa kali mengunjungi seniman dan mendapatkan karya seni langsung dari tangan pertama. Lebih dari itu, dia juga menghargai kreativitas seni dan bersemangat membantu para seniman.
Sebagaimana dituturkan Helen Ishwara ("PK Ojong: Hidup Sederhana, Berpikir Mulia," 2001), Ojong pernah memesan buku tentang seni lukis lewat Toko Buku Gramedia dan memborong cat lukis akrilik dari toko-toko di Jakarta, lalu dikemas ke dalam dua koper besar. Semua itu kemudian dibawa oleh kartunis Kompas, GM Sudarta, ke Bali dan dibagikan kepada sejumlah pelukis.
Apa yang mendorong Ojong menyukai karya seni? Indra Gunawan, wartawan Kompas sejak tahun 1965 dan pernah jadi Direktur Toko Buku Gramedia, mengisahkan, Ojong pernah berbicara tentang "wooncultuur," kultur hunian. Katanya, ruang harus diberi sentuhan estetika, seperti lukisan, patung. "Kita kadang kelewat serius, perlu sesuatu yang indah dan bikin gembira,” tutur Indra menirukan Ojong (Ilham Khoiri, "PK Ojong, Menyokong Seni Sambil Berinvestasi," Kompas, 25 Juli 2020).
Baca Juga: YDKK Ikut Bantu Pembangunan Infrastruktur di Daerah Perbatasan Indonesia
Selain memberikan keindahan yang menggembirakan, lebih jauh Ojong juga menilai seni sebagai investasi. Dalam rubrik "Kompasiana," di harian Kompas, 10 November 1969, dia menukil laporan mingguan Amerika, "TIME," tentang Ethel, janda Robert Kennedy. Sepeninggal suaminya, perempuan itu menjual beberapa lukisan koleksinya. Itu terjadi karena lukisan-lukisan itu dianggap sebagai ’belegging’, tabungan, alias investasi.
"Kami harap sangat agar kebiasaan membeli lukisan sebagai ’belegging’ (investasi) akan berakar pula di Tanah Air kita. Mengapa kami berharap demikian? Bilang terus terang: agar para pelukis kita bisa hidup dan agar mereka dapat turut mengharumkan nama Indonesia di seluruh dunia,” catat Ojong.
Semangat serupa juga dimiliki Jakob Oetama. Selain mencintai karya seni, dia juga punya perhatian besar pada pengembangan seni budaya di Indonesia. Mengacu pendapat mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Inggris St John Stevas, Jakob pernah mengungkapkan, bahwa kesenian itu mengatasi waktu, lebih langgeng dari manusia dan karena itu kesenian menjadi saksi sejarah. Kesenian juga merupakan cerminan kehidupan. Di depan karya seni, orang diajak berefleksi dan menangkap isyarat masa depan (St Sularto, "Syukur Tiada Akhir: Jejak Langkah Jakob Oetama," 2011).
Seiring pertumbuhan bisnis Kompas Gramedia yang kian maju, kian banyak pula koleksi karya seni di perusahaan ini, seperti lukisan, patung, keramik, dan benda-benda antik. Untuk mewadahi koleksi tersebut, sempat didirikan Gramedia Art Gallery di daerah Pintu Air, Jakarta. Ini menjadi cikal bakal pendirian lembaga kebudayaan Kompas Gramedia yang lebih permanen.
Sepeninggal PK Ojong, tahun 1980, Jakob Oetama memimpin Kompas Gramedia sehingga semakin berkembang. Visi untuk mendirikan lembaga kebudayaan diwujudkan dengan meresmikan Bentara Budaya di Yogyakarta pada 26 September 1982. Peresmian ditandai dengan pameran lukisan tradisional Citra Waluya dari Solo dan Sastra Gambar dari Muntilan, Jawa Tengah.
Lembaga ini awalnya menempati bangunan bekas Toko Gramedia di Jalan Jenderal Sudirman Nomor 56, Yogyakarta. Tahun 1993, Bentara kemudian bergeser ke Jalan Suroto Nomor 2, Kotabaru, Gondokusuman, di kota yang sama, sampai sekarang.
Empat tahun kemudian, tepatnya 26 Juni 1986, lahir Bentara Budaya Jakarta. Lembaga ini bermarkas di rumah kayu Kudus yang dilengkapi dua galeri sisi serta gedung serbaguna yang dirancang oleh arsitek Romo Mangunwijaya. Lokasinya di Palmerah Selatan Nomor 17, Jakarta, di lingkungan perkantoran Kompas Gramedia. Menteri Penerangan Harmoko dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Fuad Hassan hadir meresmikannya. Pada momen itu, Jakob Oetama mengungkapkan, rumah kayu jati tersebut diboyong dari Kudus, Jawa Tengah, dipugar, dan didirikan kembali di Jakarta ("Peresmian Gedung Bentara Budaya Jakarta: Peran swasta memang diperlukan", Kompas, 27 Juni 1986).
Pada Januari 2009, Bentara Budaya juga mengelola Gedung Balai Soedjatmoko di Solo, Jawa Tengah. Menyusul pada September 2009, diresmikan Bentara Budaya Bali di kawasan Ketewel, Gianyar, Bali. Sesuai semangat Jakob, kehadiran Bentara Budaya di beberapa kota itu diharapkan dapat menambah infrastruktur seni budaya di Indonesia sambil meningkatkan apresiasi masyarakat luas. Ini menjadi bagian dari upaya mempercepat tumbuhnya kehidupan seni budaya yang sehat (Efix Mulyadi, "Langkah-langkah Budaya" dalam Kompas Menulis dari Dalam", 2007).
Kenapa dinamakan Bentara? Nama "Bentara" dipilih karena Kompas Gramedia memang mempunyai sebuah yayasan bernama Bentara Rakyat yang dibentuk oleh PK Ojong dan Jakob Oetama tahun 1960-an. Karena lembaga baru ini bergerak dalam bidang Kebudayaan, maka jadilah nama Bentara Budaya untuk lembaga kebudayaan milik Kompas Gramedia ini (Hermanu, "Pengantar Kurator Pameran Audio Lawasan, Pelantang”, 2022).
"Bentara" berarti utusan. Saat dipadukan dengan kata budaya, dapat dimaknai sebagai utusan budaya atau semacam lembaga yang menyuarakan aspirasi kebudayaan. Saat didirikan, Bentara mengusung surya sengkalan (penanda waktu) "Manembah Hangesti Songing Budi". Jargon ini dapat ditafsirkan, bahwa lembaga ini ditujukan untuk mempersembahkan kemuliaan pikiran tanpa pamrih. Pikiran, hikmah, kearifan, itu diperas demi membangun kehidupan manusia yang lebih beradab.
Dalam praktik, sebagaimana dicatat kurator senior Bentara Sindhunata SJ, Bentara bertekun untuk menopang komunitas budaya dan para seniman yang tengah berjuang mengembangkan diri. Saat berbarengan, lembaga ini juga menaruh penghargaan yang sama terhadap seni kontemporer, dan berbagai isu wacana terbaru pada kesenian dan kebudayaan. Semua itu ditempuh dengan kesadaran untuk menghadirkan sosok kebudayaan Indonesia (Sindhunata, "Selayang Pandang Bentara Budaya Yogyakarta," 2007).
Kini, tahun 2022, Bentara telah berusia 40 tahun. Sudah empat dasawarsa lembaga ini bekerja untuk memanggungkan kreasi seni dari berbagai wilayah di Nusantara. Pameran, diskusi, workshop, dan pertunjukan atau bermacam kegiatan seni telah digelar silih berganti. Banyak seniman lintas bidang dan lintas generasi, termasuk dari mancanegara, yang telah tampil atau ambil bagian dalam kolaborasi di ruang-ruang lembaga ini.
Patut disyukuri Bentara dapat bertahan sampai sekarang. Apresiasi kepada semua pihak yang telah menopang keberlangsungan lembaga ini. Meski tak selalu mudah, misalnya kerumitan menggelar pameran tatap muka saat pembatasan sosial di tengah pademi Covid-19, nyatanya Bentara masih ada, hidup, dan berdenyut.
Baca Juga: Oetama Cup 2022 Gelar River Clean Up, Gaungkan Semangat Peduli Lingkungan
Mobil Mewahnya Ditabrak Sopir Truk, Wanita Ini Malah Tak Marah dan Tak Minta Ganti Rugi, Ini Alasannya
Penulis | : | None |
Editor | : | Nira Emily |