Grid.ID - Dwi Putro Mulyono alias Pak Wi (59 tahun) adalah orang dengan gangguan kejiwaan (ODGJ), tepatnya skizofrenia residual (Residual Schizophrenia).
Gejala medisnya dapat dikenali dari adanya gangguan pikiran, perilaku abnormal, dan antisosial.
Masalah kejiwaan ini rata-rata membuat pengidapnya sulit membedakan antara kenyataan dan khayalan.
Pameran seni rupa Trilogi Kenyamanan menawarkan praktik kerja kolaborasi kakak beradik.
Dwi Putro sang kakak, memiliki karunia difabel gangguan mental disertai gangguan wicara dan pendengaran.
Nawa Tunggal, sang adik, dengan tekun mengiringi kakaknya melukis. Kolaborasi yang unik. Kolaborasi Dwi Tunggal.
Pak Wi sulit terkendala dengan masalah pendengaran, dan sulit berkomunikasi secara verbal dengan orang lain.
Di tengah situasi itu, Nawa Tunggal (adik Pak Wi) memfasilitasi kakaknya untuk lebih menekuni kegiatan yang digemarinya, yaitu melukis.
Ternyata, melukis kemudian menjadi jalan keluar yang baik. Hingga kini, Pak Wi tekun melukis dengan beragam tema, mulai dari gambar binatang, benda keseharian, sampai wayang.
Semua obyek dilukis dengan cara yang sederhana, apa adanya, tanpa tendensi untuk membuatnya menjadi indah atau diindah-indahkan.
Pendekatan itu membuat karya Pak Wi menjadi lebih otentik.
Bukan keindahan visual lazim yang dikejar, tapi ekspresi spontan yang jujur.
Gambar-gambar yang dibuatnya menampakkan kemurnian bertutur yang bersahaja.
Proses kreatif Pak Wi dapat digolongkan sebagai "the outsider art" atau seni liyan karena dikerjakan oleh kalangan dari luar komunitas yang lazim menekuni seni--katakanlah mereka yang belajar seni secara akademik atau nyantrik dari seniman senior.
Karya jenis ini kadang juga disebut "art brut" atau seni karya penyandang gangguan mental. "Art brut" berasal dari Bahasa Prancis, yang mengacu pada bentuk seni yang kasar ("rough art") dan mentah ("raw art").
Semangat ini selaras dengan pernyataan terkenal dari seniman asal Jerman, Joseph Beuys, bahwa “Everyone is an artist” (semua orang pada dasarnya adalah seniman).
Maksudnya, dengan kadar dan takaran berbeda, setiap individu memiliki kecenderungan untuk menekuni proses kreatif.
Kenangan dan ingatan tentang masa lalu yang menyenangkan muncul menjadi salah satu gelagat yang dijadikan pondasi kalangan psikiater dan menyebut Pak Wi mengidap skizofrenia residual (Residual Schizophrenia).
Ini salah satu dari lima subtipe skizofrenia. Bila ditilik lebih jauh, beberapa potongan masa lalu Pak Wi yang menggembirakan itu adalah penolong baginya.
Dari gambar-gambar yang muncul, seolah ada kesan Pak Wi ingin mengulang masa-masa itu atau mengingat kembali perasaan nyaman dan menggembirakan itu di masa sekarang.
Ekspresi karyanya yang cenderung apa adanya dan infantil, bisa dibaca sebagai kepolosan dan kejujuran masa kanak-kanak itu.
Ibarat fosfor dan masa remaja adalah cahaya, Pak Wi menyerap cahaya tersebut dan memantulkannya kembali ketika berada dalam kegelapan, dalam dekapan skizofrenia. Pelan-pelan, dunianya yang gelap dalam dekapan skizofrenia itu menjadi terang.
Baca Juga: Syukuran 40 Tahun, Bentara Budaya Berkomitmen Menjadi 'Hub' Budaya Nusantara
Melalui pameran ini, Bentara Budaya berusaha merangkul semua kelompok masyarakat yang berproses kreatif dalam dunia seni. Seni itu bersifat universal sehingga tidak dibatasi hanya boleh digeluti orang atau komunitas tertentu saja
Seni merupakan ruang terbuka yang dapat dimasuki dan ditekuni siapa saja, termasuk orang-orang dengan masalah kejiwaan.
Peresmian Pameran berlangsung pada Rabu, 12 Oktober 2022 pukul 19.30 WIB dan diresmikan oleh Melanie Setiawan (Pecinta Seni) dan Pustanto (Kepala Galeri Nasional).
Acara akan diawali dengan live painting pada pukul16.00 WIB bersama Palakali Creative Art dan Inanike Agusta.
Bincang Seni Liyan & Ekosistem Kita pada pukul 18.30 WIB bersama Hilmi Faiq, Melanie Setiawan dan Nawa Tunggal
Pameran Berlangsung pada 13-19 Oktober 2022 | 10.00-18.00 WIB. (*)
Penulis | : | Grid |
Editor | : | Okki Margaretha |