Hari gelap. Langit berwarna hitam dengan garis ungu. Bulan bersembunyi di balik ranting pohon randu.
Sekumpulan burung nasar bertengger di pagar kawat. Mereka mencium aroma manusia yang nyaris jadi mayat bercampur bau mesiu.
Terdengar lolongan anjing berkepanjangan.
Empat orang berseragam berbaris rapi, masing-masing berdiri dengan senapan yang diarahkan kepada Bapak.
Hanya satu senapan berisi peluru mematikan.
Selebihnya, peluru karet. Tak satu pun di antara keempat lelaki itu tahu siapa yang kelak menghentikan hidup Bapak.
Pada usianya yang ke-33 tahun, Segara Alam menjenguk kembali masa kecilnya hingga dewasa.
Semua peristiwa tertanam dengan kuat. Karena memiliki photographic memory, Alam ingat pertama kali dia ditodong senapan oleh seorang lelaki dewasa ketika dia masih
berusia tiga tahun; pertama kali sepupunya mencercanya sebagai anak ‘pengkhianat negara’;
pertama kali Alam berkelahi dengan seorang anak pengusaha besar yang menguasai sekolah dan pertama kali dia jatuh cinta.
Namaku Alam adalah kisah anak eks tapol yang masih saja dilimpahi ‘kutukan Orde Baru’; sebuah kisah ‘coming of age’. Segara Alam, seorang anak lelaki pemberang yang mencoba
mencari identitasnya, apakah dia hadir di dunia dengan beban sejarah di pundaknya, atau bisa hidup dengan tenang, tanpa atribut ayahnya yang tak sempat dikenalnya.
Namaku Alam adalah kisah pencarian identitas seorang remaja; bagaimana dia mengatasi dendam beberapa dekade karena keluarganya didiskriminasi sepanjang sejarah Indonesia.
(*)
Penulis | : | Grid. |
Editor | : | Irene Cynthia |