“Jadi, mari kita tingkatkan pengetahuan dan kesadaran terhadap pentingnya HKI dalam kehidupan keseharian kita. Mari kita lebih cermat dan bijak dalam menghargai Hak Kekayaan Intelektual yang dimiliki seseorang,” pungkas Astrid.
Sudah ada sejak zaman pemerintahan Belanda
Sebagai informasi, peraturan HKI sudah diterapkan di Indonesia bahkan sejak zaman penjajahan. Kala itu, pemerintah kolonial Belanda memperkenalkan undang-undang perlindungan HKI pada 1844.
Baca Juga: Bijak Berekspresi di Ruang Digital, Kemenkominfo Dorong Anak Muda Paham UU ITE
Hal itu dijelaskan lebih lanjut oleh Penyuluh Hukum Madya Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) Provinsi Jawa Timur Wiwin Winarti S.H, M.H yang turut menjadi salah satu pembicara pada forum diskusi tersebut.
“Beberapa peraturan perundang-undangan HKI yang dibuat Belanda saat itu adalah UU Merek pada 1885, UU Paten pada 1910, dan UU Hak Cipta pada 1912,” jelas Wiwin.
Namun, tiga peraturan tersebut mengalami perubahan dan revisi sesuai dengan perkembangan zaman. Perubahan terakhir terjadi pada 2001, di mana pemerintah Indonesia mengesahkan UU Nomor 14 tahun 2001 tentang Paten dan UU Nomor 15 tahun 2001 tentang Merek yang menggantikan UU yang lama di bidang terkait.
“Terutama yang secara umum pembaruan pada merek, paten, dan hak cipta,” imbuh Wiwin.
Sayangnya, hingga saat ini, masih banyak masyarakat yang belum mengetahui dan memahami UU HKI, sehingga sering terjadi pelanggaran HKI secara tidak sengaja.
Baca Juga: Dorong Pemuda Papua Berdaya Saing, Kemenkominfo Gelar Forum Literasi Demokrasi
“Maka, saya menyarankan masyarakat mencari informasi secara daring terkait UU HKI ini melalui situs Kementerian Hukum dan HAM. Semua sudah online, lebih mudah,” kata Wiwin.
Tak hanya sertifikat merek, Wiwin mengungkapkan bahwa skripsi termasuk karya Hak Cipta yang bisa dibuatkan sertifikatnya.
Kimberly Ryder Klarifikasi soal Lemari Plastik yang Jadi Omongan Netizen, Ada Sejarah Miris di Baliknya
Penulis | : | Yussy Maulia |
Editor | : | Sheila Respati |